Ian terbangun karena sinar mentari yang menembus kamarnya. Matanya perlahan terbuka dan seketika itu juga ia melihat jendela kamarnya. Sedikit berbeda dengan kamar sebelumnya. Dia kembali berusaha mengumpulkan nyawa sampai nyawanya benar-benar terkumpul. Barulah dia sadar kalau sekarang dia berada di kamarnya yang dulu.
Masih dengan pakaian semalam, Ian bangkit dari tidurnya. Ia duduk di atas kasur dan melakukan peregangan. Mengucek matanya kemudian melihat sekitar kamarnya. Semuanya tak berubah. Masih seperti yang dulu. Hanya saja, ada beberapa barang yang sudah berpindah dari tempatnya atau bahkan sudah tidak ada.
Pagi ini sedikit berbeda. Walaupun sudah cukup lama dia merasakan ini, tapi kerinduan saat ibu membangunkannya adalah hal yang tak bisa dia lupakan. Semuanya terasa sepi. Yang ada kini hanya alarm yang selalu membangunkannya setiap pagi. Dia rindu masa SMA dulu. Dia rindu Aga.
Aga?
Ian beranjak dari kasurnya keluar kamar. Sampai di dapur, dia melihat Bi Inem memasak sarapan. Di sisi rumah yang lain ada Yanto yang sedang menyiram tanaman.
Dengan suara berat karena baru bangun, Ian menyapa Bi Inem. Membuat Bi Inem sedikit terkejut dan langsung melihat orang yang mengagetkannya itu.
"Eh, Mas Ian, duduk dulu, Bi Inem baru masak nasi goreng," jawab Bi Inem sambil terus mengaduk-aduk nasi yang ada di atas wajan.
"Yanto mana bi?"
"Biasa, lagi nyiram tanaman."
"Hah? emang kita ada tanaman?"
"Ada, ibu yang tanam waktu dulu, katanya biar dia ada kegiatan. Eh, belum sebulan, si Ibu malah pergi."
"Oh gitu."
Bi Inem menghampiri Ian sambil membawa sepiring nasi goreng campur udang dan telur ceplok setengah matang kesukaan Ian.
"Nih sudah jadi, nasi goreng kesukaan mas Ian."
Bi Inem duduk di kursi lain. Dia menatap Ian yang sedang menyuapkan nasi goreng buatannya itu.
"Mas Ian kurusan, jarang makan ya?" tanya Bi Inem sambil menyeduhkan teh buat Ian.
"Iya Bi," jawab Ian sambil menyuapkan nasi goreng itu ke mulutnya.
"Jangan gitu atuh, kasihan si ibu sama si bapak, mereka pasti sedih liat mas begini."
Ian hanya tersenyum. Dia terus mengunyah sarapannya.
"Mas banyak pikiran, ya? Jangan terlalu dipaksa, kalau capek, istirahat. Kesehatan mas itu nomor satu loh."
"Iya Bi, bawel!"
"Hehe, bukan gitu mas, Bi Inem ikutan sedih kalau sampe mas Ian sakit."
Ian terus menyendokkan nasi goreng itu ke mulutnya. Makanan yang sangat dia rindukan. Selama ini, dia hanya makan di restoran. Walaupun rasanya juga enak, tapi makanan sederhana ini yang sangat dia mau. Sayangnya, jarak apartemen dan rumahnya sangat jauh.
"Mas kenapa gak tinggal di sini aja? biar ada Bi Inem yang ngurus mas."
"Jarak kantor sama rumah jauh Bi, kalau dari apart kan deket."
"Tapi, mas gak bisa urus diri, buktinya kurus begini. Pesan ibu waktu itu, bibi harus rawat mas Ian."
"Tenang aja, Ian bisa rawat diri kok."
***
Setelah sarapan Ian langsung mandi dan kembali ke apartemennya. Hari ini dia harus ke kantor karena ada rapat penting. Sejak tadi sekretarisnya juga sudah menelponnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ian & Aga [end]
Roman pour AdolescentsTentang sebuah rasa yang sulit diungkapkan. Juga tentang kerinduan yang tak kunjung tersampaikan. Copyright © 2020