3

4.1K 438 18
                                    

Sejak kejadian malam itu, Ian berusaha untuk menghindar dari Aga. Yang awalnya dia selalu nebeng dengannya, kini dia membawa motor sendiri. Awalnya dia selalu nunggu Aga setiap latihan futsal, dia selalu menunggu sampai sahabatnya itu selesai dan pulang bersama. Semuanya berubah sejak ciuman yang mereka ciptakan malam itu.

Semuanya tidak seperti dulu lagi. Ian sudah menjadi pria yang dingin. Bahkan, beberapa temannya sedikit bingung melihat tingkah Aga yang tiba-tiba diam. Setiap kali dia diajak bicara, dia akan menjawab seadanya saja. Bahkan, belakangan ini, Ia mulai sedikit sensitif. Dia bahkan mudah marah. Tapi, itu tak membuat orang-orang membencinya. Yang mereka tau, Ian adalah periang dan humble. Dalam pikiran mereka, mungkin Ian sedang ada masalah.

Hari demi hari Aga melihat tingkah Ian yang berubah 180 derajat. Belakangan ini, Ian juga sudah jarang ikut latihan basket. Dari pandangan Aga, pria itu selalu berdiam diri di ruang kelas. Tak ada seorang pun kini mau berbicara dengannya. Karena, berbicara dengan Ian hanya membuang-buang waktu saja. Dia tak akan menjawab pertanyaan yang tak begitu penting.

Kini, mereka sudah duduk di kelas 3 SMA. Sudah setahun, Aga tak berani mengajak Ian bicara. Bahkan, dia tak berani mengirim pesan ke pria itu, bahkan menelponnya pun tidak. Dia hanya menatap sahabatnya itu dari kejauhan. Mengingat, ruangan mereka berbeda. Ian di kelas XII - IPA 1 sementara Aga di kelas XII - IPS 1.

"Ian, dipanggi pak Jordan," tegur Hema.

Tanpa ada balasan, Ian langsung berdiri dan berjalan menuju ruang guru. Tingkah dinginnya sudah menjadi hal biasa bagi teman-temannya. Sifat Ian memang berubah, tapi kebaikannya tak pernah hilang. Ian juga masih sering membantu temannya yang kebingungan tentang pelajaran. Dia hanya lebih ke pendiam saja.

"Selamat pagi, pak!" sapa Ian sambil mengetuk pintu ruang guru.

"Oh, nak Ian, kemari," pak Jordan melambai-lambaikan tangannya memanggil Ian.

Ian duduk di kursi yang ada di depan meja pak Jordan.

"Gini Yan, kan nanti ada latihan buat anak kelas sepuluh, nah bapak gak bisa latih, kamu bisa gak, bantu bapak? kamu kan udah senior, bisalah bantu-bantu bapak."

Ian sedikit berpikir. Waktunya memang tak pernah padat. Apalagi, semenjak dia pensiun dari basket, dia jadi memiliki banyak waktu kosong.

"Jam berapa pak?"

"Kayak biasa, jam 3 sore. Bisa kan? cuma sekali aja. Bapak ada urusan di luar."

"Yaudah pak, saya akan bantu."

"Yaudah, makasih ya Yan, kamu boleh balik ke kelas."

"Permisi pak."

Ian meninggalkan ruang guru yang diisi oleh pak Jordan dan beberapa guru lain.

***

Bel pulang sekolah berkumandang, jam sudah menunjukkan pukul 14:30. Seluruh siswa langsung merapikan buku-bukunya dan meninggalkan ruang kelas.

"Yan, gue duluan ya," pamit Eza, teman semeja Ian.

"Oke."

Setelah seluruh temannya pulang, barulah Ian keluar dari kelas. Banyak siswa yang dengan antusias meninggalkan area sekolah. Masa penyiksaan mereka selama beberapa jam sudah selesai. Menunggu hari esok yang akan disiksa lagi dengan pelajaran.

Ian langsung menuju ruang ganti khusus anak basket. Di sana masih kelihatan sepi. Ian gak tau mereka sudah ke lapangan atau mereka masih belum mengganti pakaian. Tapi, ia merasa ada seseorang di dalam bersamanya. Dengan rasa penasaran, Ian melihat orang yang bersamanya itu. Dan terkejutlah ia melihat keberadaan Aga di sana. Mata mereka saling bertemu dan mereka sempat terdiam.

Ian & Aga [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang