Kalau memang Aga hanya ingin memanfaatkan Ian, kenapa Aga repot-repot melakukan semua hal itu. Untuk cari muka dengan Ian? tapi, tanpa Aga cari muka pun, Ian sudah pasti akan menuju Aga. Tapi, dari yang Ian dapat hari ini, dia benar-benar sudah muak dengan pria yang satu itu. Persetan dengan persahabatan yang mereka bentuk sejak kecil.
Aga sampai di perusahaan Ian. Dia langsung berlari dan mencari seseorang yang menjadi incarannya. Sampai di ruangannya, Aga melihat hanya ada OB yang sedang membersihkan ruangan Ian yang sedikit berantakan.
"Maaf, bapak Iannya mana?" tanya Aga.
"Oh, bapak Iannya sudah pulang duluan pak, katanya lagi gak enak badan."
Tanpa basa-basi lagi, Aga langsung berlalu. Saat hendak menuju lift, Aga bertemu dengan Tika yang baru saja memberikan berkas ke manajer bagian pemasaran.
"Ian kemana?" tanya Aga langsung.
"Ehm... sepertinya pak Ian sedang tak bisa diganggu pak."
"Saya tanya, Ian kemana?!" bentak Aga sambil berusaha mengontrol nafasnya.
"Maaf pak, saya tidak tau," jawab Tika.
"Ah! kamu gak beres!" Aga mengabaikan Tika dan langsung masuk ke lift.
Setelah keluar perusahaan, Aga kembali menuju mobilnya dan meninggalkan perusahaan itu.
Sebenarnya, Aga tak terlalu mempermasalahkan masalah perusahaan. Yang dia permasalahkan adalah apa yang sedang terjadi dengan Ian sampai mood nya rusak begitu. Biasanya kalau mood nya rusak begitu, dia pasti mengetahui sesuatu yang menyangkut pautkan keluarganya dan Aga.
Sekita 10 menit Aga diperjalanan, akhirnya dia sampai di gedung apartemen Ian. Dia berlari menuju apartemen Ian. Sampai di depan apartemen, Aga langsung memencet tombol belnya.
Dengan nafas yang masih sesak, Aga berusaha untuk mengontrol nafasnya agar kembali normal. Keringatnya mulai bercucuran deras. Kini, kemerja yang tengah ia kenakan mulai basah.
Berkali-kali Aga memencet tombol, tak ada jawaban dari dalam apartemen. Aga mengambil ponselnya dan menghubungi Ian. Ternyata nihil. Tak ada jawaban dari pria itu. Sekali lagi Aga memencet tombol bel, dan saat itulah pintu apartemen Ian terbuka. Menampilkan seorang pria yang masih mengenakan pakaian yang sama saat mereka makan di restoran tadi siang.
"Aku mau ngomong!" sambar Aga.
"Apa?"
"Kamu kenapa jadi mood swing gini sih? kayak cewek tau gak?"
Ian menatap Aga seolah-olah ingin menguliti pria itu sekarang juga. Tangannya mengepal sempurna. Urat-urat tangannya pun kini terlihat.
Mereka saling bertatap-tatapan. Saling terkurung dalam emosi masing-masing. Aga yang emosi karena melihat tingkah Ian yang semakin lama semakin menjengkelkan. Ian yang emosi karena dia sudah tak bisa lagi percaya dengan pria yang didepannya ini.
"Kamu kenapa tiba-tiba gini? aku siapa kamu sih? kamu lupa dulu kita pernah janji jalau ada masalah saling cerita? bukannya malah diam gak jelas kayak gini, basi tau gak?" suara Aga mengisi lorong gedung. Dia tak peduli kalau ada orang lain yang melihat mereka.
"Sekarang gue tanya, lo nganggap gue apa?" balas Ian.
"Oh! udah lo gue, oke!" Aga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia menggulung lengan bajunya sampai ke siku.
"Lo tau? selama 10 tahun gue gak pernah berhenti lupain lo! selama 10 tahun gue susah mati menahan kangen gue! dan waktu gue disuruh ke Indonesia, gue seneng banget, lo tau kenapa? karena akhirnya gue bisa ketemu orang yang gue kangenin! cuma lo yan! cuma lo orang yang gue harapkan di dunia ini selain bokap nyokap gue! Tapi apa balasan lo? ini balasan lo ke gue? Okey! gue ngaku kejadian waktu lo ulang tahun itu murni kesalahan gue, tapi gak semestinya lo kayak gini yan! cuma sekadar ciuman dan gak lebih! kenapa lo seperti merasa jadi orang yang paling dilecehkan sedunia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ian & Aga [end]
Teen FictionTentang sebuah rasa yang sulit diungkapkan. Juga tentang kerinduan yang tak kunjung tersampaikan. Copyright © 2020