Seminggu lamanya bi Inem dirawat di rumah sakit. Selama seminggu juga Ian nginap di rumah. Dia menemaini Yanto di sana. Walaupun Yanto termasuk orang yang tidak penakut, tapi, dia merasa, membiarkan Yanto sendiri di rumah itu gak baik.
Seminggu terakhir ini juga Aga sering berkunjung ke rumah untuk liat keadaan Ian. Dilihat dari pandangannya, Ian terlihat sangat letih dan badannya semakin kurus. Wajah Ian juga terlihat kusam.
"Kamu belum makan?" tanya Aga. Ian duduk di sofa sambil menatap langit-langit ruangan. Ia berusaha menenangkan pikirannya.
Ian menggeleng menjawab pertanyaan Aga. Sejak kemarin Ian belum memasukkan makanan sedikit pun ke perutnya. Ia sibuk dengan urusan perusahaan dan mengurus bi Inem yang di rumah sakit. Menurut informasi dokter, kondisi bi Inem semakin melemah. Wanita itu seperti kehilangam energi tubuhnya.
"Lo mau mati? bilang! biar sekalian aja gue bunuh!" ucap Aga. Dia sedikit mengeraskan suaranya.
Susana ruangan tengah sangat sunyi. Air mata Ian menetes. Ia tak bisa menahan letihnya hidup. Sampai saat ini ia masih tak tau tujuan dia tetap melanjutkan kehidupan itu apa. Yang ada sekarang hanya abu-abu yang sama sekali tak memiliki arti.
"Kalo mati bisa mengakhiri semuanya, aku mau mati aja," ungkap Ian berusaha menahan tangis tapi tidak bisa.
Melihat isakan Ian, Aga langsung mendekat dan memeluk sahabat nya itu. Ia mengelus kepalanya memberikan ketenangan. Ia membiarkan air mata Ian membasahi jas biru donkernya.
"Aku kangen mama," ucap Ian dalam pelukan Aga.
Aga masih tidak menyangka ternyata Ian serapuh ini saat ditinggal kedua orang tuanya. Pria ini menjadi lebih tidak terurus dan terlihat lemah. Aga semakin memperkuat diri menjadi sahabat yang harus menjaga Ian sampai maut yang berbicara.
"Sshh... tenang, selama ada aku, kamu gak perlu cemas," Aga berusaha menenangkan Ian.
Kata-kata barusan membuat Ian terdiam. Kata-kata itu pernah ia dengan 12 tahun yang lalu. Saat ibu masuk rumah sakit. Aga memeluknya dan mengucapkan kalimat yang sama. Persis dengan pelukan yang sama.
Ian langsung melepaskan pelukannya. Ian tersadar akan satu hal. Yang diucapkan Aga hanya omong kosong belaka. Buktinya, ia pergi meninggalkan Ian bahkan kembali saat semua yang dimiliki Ian sedikit demi sedikit pergi.
"Jangan ngomong gitu, basi!" ucap Ian. Ia mengusap air matanya yang membasahi pipinya.
"Kamu boleh benci aku, tapi tolong, jangan korbanin hidup kamu cuma karena kamu gak punya siapa-siapa. Kamu punya aku! Kamu lupa? kamu itu selalu ngerepotin, apa aku pernah ngeluh? enggak! karena kamu itu udah aku anggap sahabat sekaligus saudara, Yan!" jelas Aga.
Aga menarik tangan Ian. Menggenggam telapak tangan pria itu. Mencoba meneguhkan hati Ian untym tetap bertahan. Semua ini masih belum seberapa. Masih banyak rintangan yang harus Ian hadapi. Untuk itu, Ian harus kuat.
"Kalau kamu butuh aku, aku siap Yan, aku bantu sebisa ku, apa aku pernah bohong soal itu?"
Untuk kali ini, Aga berani mengutarakan segalanya di hadapan Ian. Dulu, waktu mereka masih sangat dekat, untuk protes aja, Aga tak pernah lakukan. Membentak Ian sekali saja, Aga sudah kepikiran sampai terbawa tidur. Besoknya Aga minta maaf duluan.
Sejak dulu, sikap Ian di hadapan Aga memang selalu terlihat manja. Kalian tau itu. Tapi, jika berada di hadapan orang lain, Ian berubah menjadi singa. Semua orang juga tau kalau pawangnya Ian adalah Aga. Jika mereka bermasalah dengan Ian, mereka akan meminta Aga untuk membujuknya. Begitulah kenyataannya.
Ketika hubungan mereka merenggang, tak ada lagi pawang Ian. Dan, Ian juga berubah manjadi dingin. Dan sikap itu terbawa sampai sekarang. Bersikap dingin dan hanya bicara seadanya dengan orang yang ingin dia ajak bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ian & Aga [end]
Teen FictionTentang sebuah rasa yang sulit diungkapkan. Juga tentang kerinduan yang tak kunjung tersampaikan. Copyright © 2020