Ketiga gadis spesial yang menjadi target mutlak siapapun yang menginginkan keabadian. Tiga spesies gabungan terkuat yang memutuskan untuk kembali mencari orangtuanya yang telah lama hilang. Mereka dipaksa berjuang. Bertahan. Dan terus menetap.
Lente...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Langit sudah gelap sejak beberapa jam lalu. Kini, sudah tepat tengah malam. Bahkan bisa jadi sudah berganti hari. Entahlah, mereka tidak menggunakan jam digital disini.
Sesuai intruksi Korona, mereka sudah berkumpul di bawah pohon samping. Namun, mereka membutuhkan waktu yang lebih lama sebab Korona gagal mengikat pita sesuai perkataannya tadi pagi. Alasannya simple. Warna merah muda pita itu sangat mencolok. Itu artinya Amara—yang telah bertemu Korona tadi pagi pasti akan tahu tentang rencana ini.
“Di mana Ailen?”
Ah, hampir lupa. Mereka kekurangan satu orang. Keadaan yang gelap sedikit membuat mereka kesulitan melihat. Leteshia menggeleng merespon pertanyaan Aisar. Ia tidak melihat Ailen sedari tadi. Leteshia sempat mengecek ke tenda gadis itu. Tapi hasilnya tetap mustahil. Ailen tidak ditemukan.
Mereka berlima mulai gelisah. Pasalnya waktu terasa sangat singkat. Mereka butuh setidaknya beberapa jam untuk tidak terjangkau dari camp ini. Aisar mondar-mandir sambil melipat tangannya di depan dada. Pria itu tidak akan membiarkan gadis kesayangannya tertinggal di tempat aneh ini.
“Dia di sini, kawan.”
Semuanya menoleh ke sumber suara. Gadis yang berbicara mendorong Ailen hingga duduk berlutut. Tangan Ailen diikat tali di balik tubuhnya. Wajahnya mendongak menatap kelima temannya dengan sendu. Ailen takut. Yang ia inginkan adalah kembali kepada kelima temannya. Tidak peduli dengan lutut serta bagian tubuh lainnya yang sudah lecet. Itu tak terasa apa-apa sekarang.
Gadis di balik tubuh Ailen menyeringai. Momen ini adalah momen yang paling ditunggu-tunggu dirinya. Menghabisi keenam manusia ini telah menjadi tujuannya sejak pertama kali kedatangan misterius itu. Terhormatlah ia bila mereka mati ditangannya. Kecuali satu.
Elzio. Pria itu tidak bisa lolos dari dirinya. Pria itu telah menarik dirinya pada pesona indah dari matanya.
“Kalian tidak bisa pergi, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya.”
Amara membuka suara. Hal itu sudah sukses membuat kelimanya berdengus marah.
Amara tersenyum penuh kemenangan. Kapan lagi dirinya bisa seperti ini. Melihat gelagat mereka yang ‘hampir’ menyerah, gadis itu melebarkan senyuman liciknya. Kadang dirinya merasa heran—kenapa orang-orang bertindak bodoh hanya untuk menyelamatkan seorang teman. Tidak ada arti kata teman pada kehidupannya.
Semuanya sirna. Orang-orang berlalu lalang dalam kehidupannya. Datang dan pergi tanpa izin. Datang membawa haru dan pergi membawa pilu. Ia benci hal itu. Yang ia butuhkan hanyalah dirinya sendiri. Tanpa terikat oleh apapun yang akan membawanya kepada tindakan bodoh seperti ini.