19. Home?

54 7 1
                                    

“Dia pergi, kan?”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Dia pergi, kan?”

“... Dan tidak pernah kembali?”

Pria berbalut baju berkain tipis warna coklat pudar menjulurkan kakinya ke lantai dingin bercorak itu. Ia duduk tepat di tepi ranjang sambil menundukkan kepalanya pasrah. Ada nada takut yang tersirat ketika ia berbicara kepada lawan bicaranya.

Lawan bicaranya menghela napas berat. Pria itu sudah berada di situ sejak pertama kali mereka sampai. Melamun dengan sesekali meracau. Memijat pelipisnya ketika ia seperti mengingat sesuatu. Pria yang satunya—yang berdiri bersandar pada meja yang tingginya sepinggang—menatapnya sambil bersedekap.

“Sudah berapa kali kau mengatakan hal yang sama, Elzio? Jangan buat dirimu seperti ini. Kau bisa saja sakit.”

“Aku tak mau kami hanya akan mengurus Elzio si pria malang ini yang jatuh sakit ketika perjalanan selanjutnya,” lanjut Aisar cepat ketika Elzio menatapnya seolah bertanya apa maksud perkataan pria itu sebelumnya.

“Dia akan baik-baik saja. Percaya padaku. Dia tak selemah apa yang kau kira,” ujar Aisar sambil melirik nampan makanan di samping nakas ranjang Elzio. “Makanlah walau sedikit. Kau pasti tidak ingin melihat Korona kecewa dan menangis histeris ketika mendapatimu mati kelaparan.”

“Korona tidak seperti itu,” sanggah Elzio cepat. Raut wajahnya berubah sedemikian rupa. Ia tampak tidak setuju dengan perkataan Aisar yang seolah Korona selemah itu.

Yeah, i know.” Bukannya tersinggung, Aisar malah terkekeh geli melihat wajah serius pria dihadapannya itu. “Itu hanya perumpaaan, Tuan Vampir. Tidak bisa kah hidupmu diiringi sedikit lelucon? Jangan terlalu dibawa serius. Santai.”

Elzio menetralkan air mukanya setelah sempat mendengus kesal. Dirinya sangat emosional belakangan ini. Tidak salah bila Aisar mengatakan bahwa dirinya terlalu serius dan sensitif. Apalagi ditambah Korona yang entah di mana dan dengan siapa. Kepalanya rasanya mau pecah saja.

“Dimana Ailen? Kurasa dia belum sadarkan diri sejak semalam. Apa lukanya serius?”

“Dia di—”

“Ailen sudah siuman. Kemari.”

Belum sempat Aisar menyelesaikan kalimatnya—Diego datang dari ambang pintu yang terbuka lebar dan menyahut begitu saja. Mereka berdua akhirnya beranjak. Bergegas meninggalkan kamar dan berjalan tepat di balik tubuh Diego.

“Apa yang membuat Ailen kehilangan kesadarannya?” tanya Aisar tepat ketika mereka sampai. Dilihatnya tubuh Ailen yang berbaring di ranjang mini size dengan selimut yang menutupi setengah tubuhnya. Bibir Ailen kering khas orang sakit.

“Kami belum mengetahuinya. Sepertinya ini reaksi dari dalam tubuhnya.”

Leteshia menjeda kalimatnya. Gadis yang dudut di tepi ranjang itu kemudian menghela napas. Mengerjap beberapa kali hingga niatnya terkumpul. “Aku rasa Korona benar. Bisa jadi Ailen hanya berniat mengeluarkan sihir terkuat yang ia miliki. Namun, tanpa sengaja ia mengerahkan Chaosnya yang belum terkendali.”

Last BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang