7. Can we?

144 33 12
                                    

“I know the place

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“I know the place.”

Jari Ailen menari indah di atas papan ketik sebuah laptop. Matanya yang tajam menyorot fokus pada layar laptop. Walau secercah cahaya layar sedikit terang karena kurangnya cahaya sekitar tak membuatnya berhenti.

Musee Des Vampire. Tepatnya di Paris, Perancis.”

Layar laptop telah menampilkan hasil pencarian gadis itu sejak beberapa detik yang lalu. Lengkap dengan gambar, sejarah, serta peta tentang bangunan bersejarah itu. Kekuatan internet, bukan?

“Ya! Aku tahu itu,” Korona beranjak mengambil sebuah buku dari rak lalu membukanya. “Aku pernah membacanya disini. Museum vampir dengan beberapa koleksi didalamnya.”

“Koleksi dalam bentuk apa?” Elzio ikut mendekat. Alisnya menukik bingung ketika matanya menangkap gambar artefak di atas kertas itu. Korona mulai menjelaskan satu persatu tentang pemahamannya tentang bangunan itu.

“Segalanya. Manusia menganggap kalian sebagai makhluk mitos yang murni. Ada sebagian yang percaya dan terobsesi dengannya.” Korona berdeham pelan lalu menyapu pandangan sekitar. “Termasuk aku.”

“Oke, lupakan. Jadi, tempat itu dijaga ketat oleh petugas keamanan setempat. Waktu dibukanya cukup singkat, bahkan kita harus membuat izin pertemuan bila berkunjung di luar jam kunjungan.”

Leteshia yang mulai penasaran menaruh secangkir coklat hangatnya di meja. “Kenapa mereka begitu menjaganya? Apa benda-benda di dalamnya cukup berharga?”

Korona mengangguk pasti. “Tentu. Aku dengar bangsa vampir pernah membuat pusat pemerintahan serta keamanan disini. Jauh berabad-abad yang lalu.”

“Semua runtuh karena perang keluarga dan bangsa kalian memasukkan peninggalan itu ke dalam museum,” lanjut Elzio cepat.

“Tepat. Mungkin kalung pertama ada disana.”

Beberapa jam yang lalu, setelah berhasil mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, mereka mendapati sesuatu. Hanya terdapat tiga kalung dengan liontin permata untuk masuk ke portal dunia immortal. Ailen, Leteshia, dan Korona yang notabene-nya terkutuk menjadi manusia seutuhnya di bumi, tentu saja sangat membutuhkan kalung itu. Konon katanya, kalung itu hanya bisa digunakan pada manusia yang tepat dan terpilih.

Ada pula tempat pengasingan nenek mereka yang dijaga oleh makhluk besar yang liar. Mereka hanya takluk kepada pemimpin sejati dan pemilik kalung itu.

“Aku lapar. Apa ada yang punya makanan?” Ailen menghela napasnya. Menaruh kepalanya pada meja yang datar.

Leteshia menggeleng pelan. “Apa kau tak bisa berhenti berpikir tentang makanan? Ini tengah malam, Ailen.”

Bukannya merasa bersalah, Ailen malah cengengesan. “Aku rindu datang ke bazar makanan yang digelas setahun sekali. Pizza yang dijual di sana sangat lezat. Kalian harus mencobanya!” Ailen mengedipkan sebelah matanya lalu terkekeh.

Last BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang