Malam ini, api unggun masih berlangsung. Tak sedikit dari mereka yang memilih tak tidur walaupun malam semakin larut. Mereka tampak menikmati acaranya.
Elzio merapikan jaket abu-abunya. Beberapa detik yang lalu, ia telah berpamitan untuk menjenguk Korona. Ia kemudian berjalan ke tenda sambil sesekali memandang sekitar.
Entahlah, pria itu merasa rencana mereka dipersulit sekarang. Kini, mereka bahkan terpaksa tinggal di camp pelatihan. Tujuan mereka ke sini sangat berbeda jauh dengan yang terjadi sekarang.
Korona dengan kelakuan konyolnya, perselisihan kecil antara Aisar dan Ailen yang tadi sempat ia dengar dari jauh, hingga ketidaksukaannya pada Cleon.
Mereka semua seolah mengatasnamakan takdir sebagai penghambat rencana mereka.
“Kenapa kau diizinkan masuk?”
Suara serak itu menyambutnya ketika sampai. Gadis itu tampak pucat dengan tubuh yang diusahakan duduk. Elzio lalu berjongkok menatap gadis kesayangannya itu. Tersenyum sambil menyisipkan rambut Korona ke belakang daun telinganya. “Karena aku yang membawamu ke sini. Aturan camp mengatakan aku yang harus bertanggung jawab.”
Mereka saling melempar senyuman seperkian detik. Mereka masih tak menyangka garis takdir mempertemukan mereka dengan alurnya yang unik. Kadang kala, salah satunya merenung—kenapa kekasih hatinya selalu membuat dirinya terbakar api cemburu. Yang lainnya ikut merenung—kenapa pengisi hatinya membuatnya gemas dan kesal ketika cemburu.
“Kenapa kau berani sekali melawan Amara. You know, kau tidak sebanding dengannya. Dia terlatih, Korona.” Nada bicara Elzio melemah di akhir. Pria itu tak habis-habisnya berpikir tentang bagaimana bisa Korona menantang dengan terang-terangan.
Korona membenarkan posisi duduknya. Terdiam untuk seperkian detik. Ia ingin marah, tapi Elzio ada benarnya juga. “Maaf. Aku ... aku hanya ingin membuktikan bahwa aku lebih hebat darinya.”
Korona menunduk tatkala Elzio tidak juga mengatakan sesuatu. Sesekali gadis itu merutuki dirinya dalam hati mengingat betapa cerobohnya ia waktu itu.
“Aku tak ingin melihatmu terluka. Tapi, bukan artinya kau harus mempersilahkan seseorang untuk melukaimu.” Elzio menarik napas lalu menghelanya. Satu sisi, ia tak ingin melihat wajah sendu di hadapannya kini. Sisi lainnya. ia tak ingin kejadian terulang lagi. “Ingat, Korona. Kau tidak sebanding.”
“Ya, aku tak sebanding karena aku bukan vampire sepertinya. Aku hanya manusia biasa, kan. Bahkan, jika aku melepas kalung ini—mereka semua akan berbondong-bondong datang kepadaku untuk menjadikanku makanannya.”
Elzio terdiam menunggu gadis itu melanjutkan kalimatnya.
“Aku bisa saja mati kemarin jika Amara tak segera melepaskanku.”
“Korona ....”
“Aku tau, Elzio. Aku tak akan pernah sebanding dengan seorang vampire. Aku sadar diri.” Korona tersenyum lalu mencoba berdiri dengan sepenuh tenaga. Elzio lalu ikut berdiri namun tanpa mengatakan apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Blood
FantasyKetiga gadis spesial yang menjadi target mutlak siapapun yang menginginkan keabadian. Tiga spesies gabungan terkuat yang memutuskan untuk kembali mencari orangtuanya yang telah lama hilang. Mereka dipaksa berjuang. Bertahan. Dan terus menetap. Lente...