16. Women Can Lead

56 8 3
                                        

Seorang gadis berbalut sweater merah muda itu mengusap kalung yang bertengger melingkari lehernya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang gadis berbalut sweater merah muda itu mengusap kalung yang bertengger melingkari lehernya. Ia menunduk—memerhatikan liontin berbentuk kunci itu dengan seksama. Tak ada yang salah, semuanya terlihat baik-baik saja. Namun, mengapa begitu sulit memiliki kalung ini? Bahkan dirinya harus melewati rangkaian gejolak ketika menggapainya.

Gadis itu tiba-tiba teringat kepada perkataan Ibunya. “Nak, simpanlah segala sesuatu yang telah kau gapai dengan susah payah. Rawatlah hingga kau mengerti kenapa kau bisa dan harus mendapatkannya.”. Gadis itu kembali tersenyum—mengingat hangat dan lembutnya tutur Ibunya.

Entah bagaimana, tapi gadis itu sedang  benar-benar merindukan Ibunya. Wanita malaikat yang menuntunnya ke pangkal kebahagiaan. Wanita yang dengan sabarnya merangkul gadis itu ketika terjatuh. Menyemangati untuk bangkit. Hingga jadilah gadis itu yang sekarang.

“Leteshia, kenapa masih melamun?”

Lamunan Leteshia seketika buyar. Ia terlihat kebingungan, lebih tepatnya seperti orang linglung. Diego datang dari pintu lalu meraih tangan gadis itu untuk sekedar mengecupnya. “Selamat pagi, Tuan Puteri. Bagaimana malammu? Menyenangkan?”

“Well, menyenangkan. Aku bermimpi bertemu sebongkah harta karun. Lalu, kembali ke dunia manusia. Menjalankan hidup seperti biasa, menikah, mempunyai keluarga...”

“...And then, happy evely after.”

Great. Itu kedengarannya menarik. Apalagi jika aku yang menemani sampai di akhir ceritamu.”

Nope. Cerita kita.”

Diego tersenyum hangat. Tangan pria itu mengusap puncak kepala Leteshia singkat. Bukan apa-apa, tapi ia merasa gadis di hadapannya kini adalah dunianya. Ia berani bertaruh bahwa dirinya tak bisa berhenti mencintai Leteshia. Bahkan, pandangannya tak bisa luput dari gadis itu. Kecuali ...

Mata dan caranya memandang sama persis dengan Isabelle. Sialan, mood-nya mendadak rusak ketika menyadari dirinya masih membawa masa lalu bagi masa depannya.

“Hm, ada sedikit pengumuman dari Niccolas. Kita harus berkumpul sekarang,” gumam Diego sebelum ia mengingat Isabelle—gadis di masa lalunya lebih jauh.

“Mendadak? Well, c’mon.”

****

“Dimana Korona?”

Ailen berujar demikian sebab mereka berlima—Ailen, Aisar, Leteshia, Diego, dan Elzio—berkumpul di barisan paling depan tanpa Korona. Sudah hampir dua jam pengumuman belum diumumkan juga. Penghuni camp bahkan telah bergumul dengan panas teriknya matahari. Beberapa dari mereka terdengar menggerutu kesal. Pasalnya, seharusnya mereka tengah menikmati waktu istirahat sekarang.

Last BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang