"Jadi ini ceritanya tentang berondong lovers? Bukan pedofil, kan?" Suara Asa memecah keheningan, dengan malas aku melepaskan tatapanku dari ponsel.
"Menurut lo aja?" cetusku.
"Jadi agak gimana, ya? Aneh gitu? Davionya juga mirip sama seseorang." Asa menggaruk dagunya.
"Lah emang lo-nya aja yang mikirnya sampe akar, lo juga aneh. Ga kaya biasanya," cibirku.
"Asal lo tahu, aja ya Sa, di mata gue, Davio itu mirip sama Aretha. Iya kan, Re? Jangan-jangan lo bikin cerita ini ada tujuannya?" tebak Mia.
"Dari mana lo seyakin itu?" Asa meletakkan Ipad-ku.
"Lo lupa? Tiga tahun belakangan ini gue yang paling kenal sama Aretha, waktu kelas satu dulu kita malah sekamar. Jadi, kalo lo ngerasa lo yang paling kenal sama Aretha, lo salah besar."
Aku nyengir menatap mereka berdua. "Gue ngerasa jadi rebutan disini."
Setelah menghilangkan kerutan di dahinya, Mia menoleh kearah arah Asa. "Cuih, pede amat. Sa, lo baca sampe bab berapa?"
"Bab lima belas, lo?"
"Gue masih tiga belas, munafik. Dan, oh ya, Re, boleh gue tanya tentang bab ini?"
Aku menatap malas Mia yang menggigit bibirnya. "Ya?"
"Munafik disini ditujukan buat Davio kan? Kenapa Davio bisa nganggep dirinya munafik? Dan ini nih, sensi banget Davio tahu ga, sih! Masa cuma gegara kena pelanggaran bahasa, dia bisa sefrustasi itu?!"
Aku menghela nafas panjang. "Sekarang munafik sama aja dengan bermuka dua. Kalian terluka, tapi milih pura-pura bahagia atau bahkan cuma mencoba terlihat baik-baik aja, itu bisa dibilang munafik. Sama dengan keadaan Davio ketika di depan kak Eby, Davio memilih buat jutek, judes. Di belakang asalnya kan ga gitu."
"Pengalamanmu sendiri kan, Re?" Mia terbahak.
Aku memutar bola mataku dan melanjutkan, "Dan masalah frustasi atau enggaknya, bayangin aja deh, ya, udah pegel, mood bertambah buruk ketika nama seseorang yang engga kalian suka disebutkan, habis itu kena pelanggaran baru. Apes banget tahu ga?!"
"Kalo gue jadi Davio, gue ga cuma banting tuh selang, gue juga semprotin ke wajah pengurus itu!" sosor Asa berapi-api.
"Dan kalo gue bikin ceritanya kek gitu, Davio bisa kena pelecehan pengurus. Kasihan Davionya," candaku.
"Gue, ga tahu lah, kalo aja ada orang yang kek Davio, gue udah jadi sasaeng fans-nya mungkin? Faham bener sama dirinya yang munafik dan ga mau diperlakukan baik." Mia bertepuk tangan.
"Sekarang gue ngomong tentang chapter ke lima belas. Jujur aja ya, Re. Baru kali ini gue tahu kalo menghindar juga pake izin." Asa menahan tawa.
"Apa ada yang salah?" Aku mengangkat bahu cuek.
"Bukan salah, Re! Tapi janggal! Lo pikir-pikir lagi deh, masa menghindar pake izin dulu?!" Asa menggeleng pelan, "Bisa gagal!"
"Sa, kalo ada orang niat menghindar buat nenangin diri, itu juga bisa terjadi. Kalo yang dihindari ga mau dihindari, ya gagal total!" debatku.
"Lo pikir lagi, ya ... pikir lagi! 'Aku izin menghindar buat sementara waktu.' Irasional tahu! Ga masuk akal! Bayangin aja di dunia nyata, mana ada?!"
"Ada! Nyatanya gue-" Aku langsung memerintahkan otot mulutku untuk bergerak menutup ketika menyadari ada yang salah.
"Lo kenapa?" Asa menatapku tajam memibta jawaban.
Dari sudut mata aku menatap Mia yang masih fokus membaca, aku berharap ia tak terganggu dan kemudian tahu siapa sosok yang memenuhi pikiranku saat ini.
"Gapapa," jawabku cepat.
"Lo tadi mau ngomong apa, hah? Lo kenapa, sih? Aneh banget!" serbu Asa.
Aku menggeleng pasti. "Gue lupa mau ngomong apa, lanjutin gih bacanya!" Aku berusaha mengalihkan perbincangan ini.
"O ... oke lah. Tapi masih ada pertanyaan yang musti gue tanyai ke lo." Aku meliriknya memintanya melanjutkan perkataannya. "Bisa lo jelasin gimana denah asrama Najma Amana? Sumpah gue bingung banget. Di salah satu chapter tadi, gue ingat Davio nyebutin kamar plus kompleknya juga. Ditambah benuanya."
Aku menunduk sejenak, menatap layar ponsel yang menunjukkan tanda loading dari kolom pencarian data.
"Asrama NA berbentuk huruf J kalau lo lihat dari atas. Terdiri dari tiga lantai, lantai keempatnya adalah roof, bascame-nya geng Hilary. Lantai pertama kantor dan kamar tidur para guru yang memang mukim di asrama. Serta komplek kamar pengurus pria. Lantai kedua, komplek kamar manager wanita, dan lantai benua Afrika yang ditempati murid tingkat kesatu." Aku menunjukkan suatu gambar denah lantai benua Afrika.
"Perlu elo inget kalo benua Afrika cuma ditempati sama tingkat pertama, yang tingkat kedua dan ketiga, baur dilantai tiga. Komplek benua Asia dan Eropa."
"Campur ya? Cewek sama cowok?" Asa memberengut.
Aku tersenyum canggung. "Aneh, ya? Jujur aja, gue ngerasa aneh waktu buatnya"
"Lo juga aneh, kan lo yang buat ...."
"Iya, pulpen gue jalan sendiri. Bukan gue yang ngendaliin!"
"Setan kali!" cetusnya.
"Serah lo!" balasku
"Terus gue liat juga dong denahnya komplek Asia sama Eropa!" pinta Asa dengan wajah bossy.
"Untung gue udah buat, ya," sambarku disertai separuh kejengkelan.
"Mateng banget persiapannya," celetuknya. Aku tak menangggapinya, karena memang tahu harus membalasnya dengan diksi apa. Aku menunjukkan denahnya.
"Wait! Ada yang aneh! Eh ini, benua Eropa kok ada punya sembilan komplek? Afrika dan Asia kan cuma tujuh."
"Benua Afrika dan Asia, diisi sepuluh anak perkamar, sedangkan benua Eropa diisi enam anak perkamar. Sudah jelas ya kalo Afrika dan Asia lebih luas ketimbang Eropa."
"Okay, i'm understood. Davio ini kamar enam komplek Luxemburg, kan?"
"Aku mengangguk mengiyakan.
"Terus anggotanya WLF, yang kamarnya di Luxemburg itu kamar keberapa?"
"Tiga, pas didepan kamar Davio."
"Berarti di NA ini lebih banyak murid ceweknya ya daripada cowok?"
Aku mengangguk.
"Jangan-jangan lo bakal jadiin ini suatu misteri." Asa terkekeh.
"Aish, tau aja lo."
Aku langsung memalingkan tatapku ke arah ponsel, sebagai tanda aku tak mau diganggu. Tanpa Asa dan Mia ketahui, air mataku merebak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teruntuk Kamu
Teen Fiction"Gue benci manusia, mereka berisik," ketus Davio. Hilary mendengkus mendengarnya, "Kalau gue?" "Ini dan itu, beda ceritanya!" Bisa dibilang, kisah mereka tak mudah untuk dideskripsikan, tentang bagaimana Davio yang menyukai kebebasan, dan Hilary yan...