PEMBUKA FIKSI YANG NYATA

51 29 7
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Armaya's Coffee terlihat lebih sepi, efek pandemi mungkin, tapi aku mensyukurinya. Di mana lagi bisa menemukan ketenangan selain di mall yang jarang didatangi saat duit harus diirit, kecuali kaum-kaum berduit. G-mall adalah pilihanku.

"Aretha!" Panggilan dari arah pintu mengoyak kedamaianku, serta membuyarkan fokusku yang sedari tadi kucurahkan pada iPad. Aku tersenyum tipis menatapnya, dia masih saja belum berubah.

"Ampun! Pangling gue liat lo! Masih imut, masih pendek, masih jutek ... astaga! Aretha gue belum berubah!" soraknya histeria. Aku tersenyum masam ketika pipiku dijewer-jewer. Aku berbaik hati memberinya waktu untuk menikmati euforianya.

"Lo juga belum berubah, tuh. Masih bawel, dan childish!" cetusku, membuat dia langsung memberengut.

"Mulut lo masih aja tajem," keluhnya.

"Gue tahu, ga usah diungkit." Melalui lirikanku, ia faham kalau aku memintanya untuk duduk di depanku.

"Ogenki desuka?" ¹

Aku memicing ke arahnya, "Please, Uswatun Hasanah, akhiri drama ini dan bersikaplah dewasa," pintaku.

Seketika dia menegakkan tubuhnya dan berdeham. "Baik, Nona, ini waktunya untuk serius."

Aku menepuk jidat, 'Ga seperti ini juga, Bocah!

"Ada niat apa lo minta kita ketemuan?" tanyaku, meski memang sebenarnya aku juga ada perlu, tapi dia terlebih dahulu memohon padaku untuk mengadakan reuni kecil-kecilan.

"Katanya, lo buat novel baru setelah PETRICHOR,² gue tunggu-tunggu tapi notifikasinya kaga nongol. Sebel tahu ga?! Mana yang PETRICHOR ga sesuai my expectation, lo kudu bikin novel baru lagi ya! Oh ya, jangan ada kata cinta atau pacaran, kalo bisa yang ta'aruf aja, terus ...."

Aku masih bertopang dagu, membiarkannya menyerocos tanpa aku sibuk memahami satu per satu ucapannya. Aku percaya kalau dia akan berhenti ketika dia merasa lelah.

"Udah ngocehnya? Ini waktu buat gue, ya!" tekanku padanya yang meringis tanpa suara. "Pertama, gue emang bikin novel, tapi gue ga bisa langsung publis, ka-"

"Kenapa?" selanya, membuatku memutar bola mataku. Kebiasaan jelek itu bahkan masih bersemayam di otaknya yang entah di bagian mana.

"Ini waktunya gue yang ngoceh, bukan lo. Jadi, LO DIEM!" ketusku.

"Oke, gue diem," cicitnya.

"Karena iPad, laptop, dan ponsel gue disita, dan gue udah beli yang baru diem-diem, tapi keciduk, akhirnya gue diperketat dalam segala hal. Gue nulis di buku dan gue ketik ulang di iPad. Baru gue publis, dan lo pikir gue ga pegel apa ngetik seribu sampe dua ribu words per-chapter? Gue butuh istirahat! Dan masalah ending dari PETRICHOR, i'm so sorry kalo ga sesuai keinginan lo, tapi ini kan novel gue, yang ngarang juga gue. Dan gue kehabisan ide, jadi sorry kalo malah sad ending dan banyak misteri yang ngegantung." Aku menjeda, karena haus dan melanjutkan setelah tenggorokanku teraliri empat teguk es teh. "Mungkin bakal gue perbaiki kapan-kapan ... mungkin," lanjutku setengah ragu.

Teruntuk Kamu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang