8 - Harapan

57 63 5
                                    

Berharaplah, selagi masih ada harapan! Putus asa tidak jauh berbeda dari pesimis, dan itu merupakan salah satu sifat pengecut.

****

Dirasa matahari sudah mulai naik, Raya beranjak dari stasiun kota. Berjalan menyusuri trotoar jalan raya. Sweater kuning polos setia menutup almamater SMA Cakrawala.

Raya tidak tahu jelas mengenai tempat sekitar stasiun. Jarang sekali Raya melewati jalanan ini. Hanya kalau Raya berkunjung keluar kota. Itupun tidak banyak memperhatikan jalanan.

Langkah Raya terhenti tepat setelah melewati halte bus. Menemukan cafe yang didominasi warna coklat dan tosca. Masih terlalu pagi, tidak banyak pengunjung di sana.

Raya melangkahkan kakinya memasuki cafe. Lonceng berbunyi, membuat penjaga kasir mengarahkan pandangannya pada Raya.

"Selamat pagi, Kak!"

Raya tersenyum. Melangkahkan kakinya mendekati meja kasir. "Pagi."

"Ada yang bisa dibantu, kak?" tanya penjaga kasir.

"Milktea, toast, fried french."

Setelah mengatakan pesanannya, Raya segera melenggang pergi mencari tempat duduk. Hari ini sedang malas sekali berbicara panjang-panjang. Tujuannya ke sini hanya untuk milktea, toast, fried french.

Mohon maaf untuk pelayan cafe. Mood Raya terlalu sering menurun selepas tes OSIS.

Raya memilih meja dekat jendela dengan view cafe bagian luar, atau yang biasa disebut outdoor. Raya melepas ranselnya, kemudian mengeluarkan laptop dan juga buku tulis kimia.

Setelah jam pelajaran PKN tadi, Ladya segera mengirim foto soal tugas kimia. Bahkan, gadis itu memotret dalam versi normal dan zoom.

"Permisi." Pelayan cafe datang membawa nampan berisi pesanan Raya.

Dengan terburu-buru, Raya menepikan buku dan laptopnya. Memberi ruang untuk makanan dan minumannya.

"Selamat menikmati!"

Raya mendongakkan kepala. Merasa tak asing dengan suara pelayan cafe tersebut.

Benar saja, Raya melihat pelayan cafe dengan seragam SMA Cakrawala. Pandangan Raya perlahan merambat ke atas. Rasa ingin tahunya meningkat.

Arka. Dia sedang menyajikan makanan Raya. Ingin sekali Raya menyapa. Tapi, apa benar cowok di hadapannya saat ini adalah Arka kakak kelasnya?

"Ray!" seru pelayan cafe. Membuat Raya spontan melotot kaget. "Nggak sekolah?"

Raya menetralisir rasa terkejutnya sebentar. Jantung Raya berdegub kencang ketika melihat Arka benar-benar sedang ada di hadapannya. Merasa terpojokkan dengan keadaan.

"Em, Kak Arka juga nggak sekolah kah?" tanya Raya mengumpan balik pertanyaan.

"Sekolah."

"Terus kenapa bisa di sini?"

"Ambil laptop."

Raya mengangguk-anggukan kepala. Jujur, Raya merasa masih was-was dengan kedatangan Arka. Di sisi lain Raya juga bertanya-tanya mengenai tujuan Arka datang kemari.

"Oh, cafe ini milik Kak Arka?" tanya Raya.

"Bukan."

Raya mengerutkan dahinya. "Lalu punya siapa?"

"Mama."

Raya mendecak pelan. Hufftt, ternyata ada manusia dengan tingkat irit tinggi. Ngomong detail saja harus dipancing dulu.  Sabar... sabar...

About Raya (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang