📙5: Pra-masalah

4.2K 242 8
                                    

Jangan lupa voment ()

Senin tiba. Hari paling tidak disukai semua orang. Jalanan macet, pikiran juga macet. Banyak yang bertanya-tanya, mengapa jum'at ke minggu berlalu dengan cepat sedangkan senin ke jum'at berjalan seperti siput menanggung beban.

Ellen dan Veren tengah berdiri dengan perasaan dongkol. Keduanya sama-sama berada di ruangan dosen.
Ingin meminta tanda tangan surat persetujuan dosen pembimbing.

Ellen yang terlihat lebih pucat. Ia masih memikirkan ucapan pria yang menjadi dosennya itu. Titik pencarian terakhir? Hah! Ia bukan mahasiswi puitis yang mengerti arti diksi. Membaca puisi saja ia tidak pandai.
Inilah yang dinamakan si pesimis yang melihat kesulitan di setiap masalah.

"Hey kamu~ hatiku dag-dig-dug saat aku melihatmu~"

Lamunan kedua perempuan itu buyar saat mendengar nyanyian yang agak sumbang dari seorang pria.

"Heh! Kampret! Gak usah nyanyi. Suaramu bisa runtuhin gedung." Celoteh pria di sebelah Ellen.

"Tau tuh. Pantes aja pemerintah gak mau denger suara rakyat."

Plak.

"Angel wes angel."

"Bacot! Aku yo cuma pengen nyanyi buat mbak Fellene tercinta." Ucapnya sambil tersenyum dan menaikkan kedua alisnya turun naik.

Fellene tertawa renyah. Advenda Winarto. Semua orang tahu jika pria berkulit kuning langsat ini menyukai Ellen sejak awal ospek, namun cintanya ditolak saat mereka masih di semester 2 dulu.

"Ven, kalo mau ngegombal tuh jangan sama Ellen. Liat tuh anaknya gak minat sama kamu." Ucap Veren. Advend sebenarnya tidak terlalu jelek juga tidak terlalu tampan. Standar lah untuk lelaki manis khas Jawa.

"Mending sama aku, Len." Ucap seseorang lagi.

Ellen menoleh. Ia menghela nafas jengah.

"Rendi, pacar kamu bisa labrak aku loh." Balas Ellen. Ia pernah di teror di Instagram bahkan di labrak karena dikira pelakor. Kurang ajar, apa media hanya menyiarkan berita bohong? Atau mungkin kebiasaan mulut-ke-mulut menjadi tradisi?

"Rendi kan fakboi, Len." Ucap Advend

Saat mereka hanyut dalam guyonan. Tiba-tiba pintu terbuka.
Muncul sosok pria mengenakan kemeja biru dongker.
Mata tajamnya menelisik satu-satu orang yang membuat kericuhan di depan ruangan dosen.

"Kenapa ribut-ribut?"

Semuanya terdiam tidak berani berkata.

"Kalau ribut lebih baik keluar. Apa kalian tidak memiliki etika?"

Pedas sekali omongan dosen ini.
Lebih pedas dari omongan tetangga, katanya.

"Maaf, Pak Dipta."

"Maaf, Pak."

"Maaf karena membuat keributan, Pak."

Mereka meminta maaf pada Dipta. Kecuali Ellen. Perempuan itu hanya diam sambil terus menatap Dipta.

"Kalau tidak memiliki urusan lebih baik keluar. Jika ada, lebih baik diam dan tunggu."

Dosen tersebut kembali menghilang di balik pintu.
Helaan nafas terdengar.

"Ncen bajingan. Serem banget tuh dosen."

Korban Ghostingan DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang