📙10: Malu nggak? Malu lah, masa nggak

3.5K 186 4
                                    

Jangan lupa voment (◔‿◔)

--------------------------

Dengan langkah berat, Ellen berjalan menuju rumah dosennya. Nael masih menarik tangan perempuan itu, berharap agar Ellen berjalan dengan cepat. Hembusan nafas yang sangat berat terdengar begitu menyedihkan. Cocok untuk menggambarkan kondisi Ellen yang tidak tau harus berbuat apa.

Senyum ia paksakan ketika sampai di hadapan Dipta serta keluarganya. Senyum kepedihan tepatnya.

"Selamat malam, Tant—-buk." Sapa Ellen dengan senyum cerahnya. Sekadar menghormati keluarga dosen, begitu pikirnya.

"Ya, nduk. Siapa ini Dipta?" Tanya Ibunya menatap Dipta dengan pandangan bertanya-tanya.

"Buk, perkenalkan. Ini Ellen, mahasiswi aku di kampus. Kebetulan pulang searah, jadi tak ajak pulang bareng,"

Jawaban Dipta terdengar tidak meyakinkan ditelinga ibunya, "Terus? Kenapa Nael panggil dia 'mama'?" Tanyanya lagi,

"Karena emang mama." Itu bukan Dipta yang menjawab, melainkan Nael sendiri.

Pipi Ellen sudah seperti kepiting rebus. Sudah cocok, apalagi rambut berantakannya yang membuat ia terlihat begitu tidak pantas berada di tengah-tengah keluarga Dipta sekarang.

"Mama Nael? Nael suka sama mamanya?" Tanya Widawati lagi,

Dipta berdecak pelan, jika begini tidak akan berakhir dengan cepat.

"Buk, aku pulang dulu. Kasian dia nggak tau apa-apa."

"Oh, ya. Hanin terima kasih kuenya."

Dipta kemudian menyalam tangan Ibunya dan kemudian berlalu dari sana dengan menggendong Nael.

"Eh?" Ellen tampak bengong karena Dipta tiba-tiba meninggalkan dirinya tanpa berkata-kata.

"Buk, saya permisi pulang ya." Ellen ikut menyalami tangan Widawati dan sedikit menunduk, kemudian dengan kecepatan kilat ia berjalan menuju mobil Dipta.

"Lain kali datang kesini lagi ya, Ellen."

"Ha? Eh? I-iya buk. Saya permisi ya, buk. Mbak..." Ucap Ellen pada Widawati dan Hanin.

"Huhhh...." Helaan nafas tak henti Ellen keluarkan hari ini. Seperti menjadi hobi, setiap jam ia akan terus menghela nafas seakan memiliki beban yang begitu berat dipikul.

"Maaf, karena saya, kamu menghadapi Ibuk."

Ellen tiba-tiba menoleh ke samping, laki-laki ini menatap wajah Ellen dengan begitu dalam. Sial, bagaimana ia bisa mengabaikan wajah tampan ini?

"Tidak apa-apa, Pak. Saya cuma kaget dipanggil 'mama' lagi sama Nael." Jawab Ellen sambil mencoba tersenyum. Ia masih jengkel sebenarnya, namun ia tidak bisa menunjukkannya karena di mobil ini ada Nathanael.

Suasana di dalam mobil tampak sunyi. Bocah yang biasanya berisik sudah larut dalam mimpinya, Ellen juga tidak punya bahan pembicaraan dengan si dosen.

Ia berdesis. Ia tidak suka suasana sunyi yang begitu sunyi ini.

"Em, Pak. Boleh nyalain radio?" Tanya Ellen pelan. Laki-laki itu hanya mengangguk tanpa berkata. Ellen kembali memutar saluran yang memutar lagu.

Sheila On 7 - Seberapa Pantas

Dipta menoleh sebentar kearah Ellen yang ikut bersenandung mengikuti lirik lagu.

Cantik.

Begitulah deskripsi singkat Dipta saat melihat Ellen yang tengah tersenyum sambil menggerakkan bibirnya mengikuti alunan lagu.

Yang Dipta pertanyakan, kenapa lagu ini sangat menggambarkan dirinya kepada Ellen?!

Korban Ghostingan DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang