Part 3

9.9K 974 17
                                    

Mereka akhirnya duduk di ruang santai flat milik mereka. Kini keduanya hanya diam. Tarin yang takut akan topik pembicaraan mereka dan Jonathan yang bingung memulai semuanya.

Tarin memijit kepalanya yang mulai terasa berat. Ia habis menangis terlalu lama. Lalu mengurus banyak hal sendirian karena kepindahan mereka.

Tampaknya Jonthan juga tidak ingin berbicara lebih dahulu. Tarin harus memberanikan diri untuk memulai.

"Jadi lo mau ngomong apa?" tanya Tarin mencoba memulai. Jonathan masih diam, keningnya tampak sedikit berkerut tanda ia berfikir.

Tarin menggigit bibir bawahnya tanda ia cemas. Jonathan masih tetap diam. Apa maunya pria ini? Dia bilang ingin membicarakan sesuatu. Lalu sekarang malah diam dan saat ditanya pun Jonathan tetap diam.

"Apa lo mau ngomongin cerai?" tanya Tarin pelan. Ia hanya menebak dan mengatakannya secara langsung.

Tarin menelan ludahnya dengan susah payah. Menunggu respon Jonathan akan pertanyaan yang baru ia lontarkan.

Mendengar kata cerai, Jonathan mendongakkan kepalanya. Menatap Tarin dengan tatapan terkejut. Kepalanya menggeleng seketika.

"Kenapa lo mikir gitu?" tanya Jonathan berbalik.

Tangan Tarin terkepal di balik bantal sofa yang ia pangku. Ia mencoba menguatkan dirinya sendiri.

"Lo ketemu lagi sama perempuan yang lo suka. Ga ada salahnya lo minta itu semua. Toh juga gue sama Tristan bakal cuma jadi beban. Lo ga akan bisa dapetin dia kalau gue masih ada di sini."

Kenapa rasanya jengkel sekali mendengar perkataan Tarin? Memang benar jika Jonathan merasakan itu semua di awal pernikahan mereka. Namun sekarang tidak sama sekali. Baik Tristan maupun Tarin bukanlah beban untuknya.

Jika mereka beban, maka Jonathan sudah memutuskan untuk meninggalkan Tarin dan Tristan di Indonesia. Tidak membawa mereka untuk ikut berpindah karena tugas kerjanya.

Sejak pertama melihat bayi Tristan, Jonathan tau ia menyayangi anak itu. Walaupun rasa benci yang menghantuinya tapi ada setitik nyaman melihat anaknya tersenyum.

"Jangan pernah ngomong gitu Rin," pinta Jonathan. "Gue ngajak ngomong karena gue mau minta maaf. Gue salah selama ini. Mungkin iya, lo ngejebak gue dan kita berakhir kayak gini—"

Jonathan menarik nafasnya dalam dan melanjutkan kata-katanya.

"—tapi ga seharusnya gue jahat ke lo. Apalagi Tristan. Gue emang kesel banget, gara-gara insiden ini gue ga bisa sama Kayana. Nasi udah jadi bubur. Gue bisa apa?"

Tatapan mata Tarin tak bisa dibaca. Terdapat berbagai hal dan tanda tanya adalah yang paling tergambar di sana.

"Ada Tristan sama lo yang jadi tanggung jawab gue. Gue selalu kabur. Bahkan waktu lo lahirin Tristan, lo berjuang sendirian. Gue baru dateng besoknya gara-gara gue pergi minum ke club. Ayah bego mana yang kayak gitu? Suami mana yang kayak gitu?"

Jonathan mengusap wajahnya pelan. "Gue ga bisa sama Kayana. Kalau gue maksain sama dia, gue berarti cowok paling tolol. Gue udah punya keluarga. Gue udah punya istri sama anak yang pinter banget. Harusnya gue bersyukur. Harusnya gue seneng sama apa yang gue punya. Ga semua orang bisa punya apa yang gue punya."

Tarin terdiam membeku di tempat. Ia tidak sedang bermimpikan? Jonathan membuka semuanya. Dia merasa tidak bersyukur? Dia senang akan kehadiran Tristan? Dia memuji Tristan? Dia bahkan mengatakan jika dirinya brengsek?


Apa yang terjadi selama dia ga pulang? Pertanyaan besar itu berputar di kepala Tarin.

Turning Back At You [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang