Part 4

9.1K 933 9
                                    

"Gue ga bakal bawa Tristan ninggalin lo, Jo."

Jonathan menatap Tarin yang berdiri di depannya.

"Ini semua bukan tentang perasaan gue. Gue bertahan demi Tristan. Karna dia butuh kita berdua. Dia butuh orang tuanya."

Malvin benar. Tarin berusaha sekuat ini untuk Tristan. Untuk putra mereka.

"Gue ga bisa nerima maaf lo segampang itu karna gue juga bersalah. Ini bukan kesalahan lo seorang."

Jonathan menatap dalam kedua manik mata Tarin. Mungkin di awal ia berfikir Tarin adalah wanita gila. Tapi wanita gila mana yang bisa berfikir seperti ini? Wanita gila mana yang mau bertanggungjawab akan kesalahannya? Apa ada wanita gila yang bisa membesarkan seorang anak hingga menjadi anak yang sangat pintar dan lucu serta mengurus rumah yang ditingglkan suaminya?

Rasanya yang gila bukanlah Tarin namun Jonathan. Bertahun-tahun di depannya nampak jelas semua usaha dan kerja keras Tarin dan Jonathan acuh tak acuh melihatnya.

Sebuah perasaan asing mengalir di dalam tubuh Jonathan. Bukan nyaman, bukan hangat. Seperti rasa ringan yang membuat Jonathan tidak sesak. "Makasih Tarin. Makasih banyak," ucap Jonathan pelan.

Jonathan bisa berubah menjadi seseorang yang melankolis jika keadaan seperti ini. Sekarang saja air matanya sudah jatuh. Rasanya seperti dadanya sangat lega dan bebannya menghilang sedikit demi sedikit.

"Jangan nangis. Tristan pasti sedih liat superhero-nya nangis kayak gini." Tarin berjalan mendekat dan menghapus air mata Jonathan yang jatuh.

Bukannya berhenti, Jonathan malah semakin menangis. Putranya menyebut dirinya pahlawan? Pahlawan mana yang selalu melakukan kejahatan sepertinya?

"Gue ga bisa berhenti nangis," ungkap Jonathan polos di tengah air matanya yang jatuh. Ia terus mengusap matanya namun air mata menolak untuk berhenti keluar. Perasaan sedih, miris, bahagia dan senang bercampur dalam diri Jonathan.

Tarin menatap wajah Jonathan yang ada di hadapannya. Lima belas tahun mengenal Jonathan, Tarin sangat tau kapan pria itu bersungguh-sungguh ataupun kapan ia bercanda. Tarin juga tidak bisa berharap banyak. Tapi ia tau ini sebuah angin segar untuk Tristan. Hubungan Tristan dengan ayahnya pasti akan membaik.

"Mama... Papa...." Suara Tristan kembali memanggil mereka. Anak itu sudah berdiri di depan pintu kamarnya dan langsung berlari ke arah Jonathan dan Tarin yang masih berada di ruang santai.

"Titan bangun terus ga liat mama sama papa." Adu anak itu. Jonathan mengambil Tristan dan memangkunya.

"Mama sama papa lagi perlu ngomong sesuatu sayang. Nanti Tristan bangun kalau mama papa ngomong di kamar Tristan." 

Tarin mengusap puncak kepala Tristan pelan. "Titan mau ikut mama papa aja." Anak itu memeluk tubuh Jonathan. Tak mau lepas dari sang ayah.

Jonathan tersenyum mendengarnya. Anaknya yang manis. Anaknya yang baik hati dan selalu ceria. Anaknya yang selalu ia sakiti.

"Iya. Kita tidur lagi ya? Kali ini papa sama mama ga bangun lagi sampai pagi di samping Tristan. Papa janji." Jonathan bangkit dari sofanya sambil menggendong Tristan dan berjalan menuju kamar putranya.

Tarin tersenyum melihat punggung Jonathan yang berdiri di depannya. Apa ia bermimpi? Melihat Jonathan menggendong Tristan dengan penuh perasaan. Mendengar percakapan ayah anak yang terasa seperti nyanyian indah.

"Awas! Nanti mama sama papa jatuh." Tristan mengingatkan Jonathan dan Tarin karena kasur itu tidak begitu besar dan sangat pas untuk mereka bertiga. Seperti tak ada ruang untuk bergerak ke sana kemari.

Tawa Jonathan terdengar. "Papa peluk semuanya biar kita ga jatuh." Lengan panjang Jonathan berusaha menggapai hingga Tarin, lalu merapatkan tubuh mereka bertiga.

Hangat. Gumam Tarin saat merasakan telapak tangan Jonathan menyentuh lengannya. Berusaha menggapai tubuhnya dalam rangka ingin memeluk mereka semua.

"Hihihi.. Titan bisa denger suara degdegdeg di sini papa," kata Tristan dengan polosnya sambil meletakkan kepala di dekat dada Jonathan.

"Ssshhh.. Itu suara ajaib. Kalau denger jangan dibilang-bilang, sayang." 

Jonathan berusaha menutupi rasa malunya. Tentu saja jantungnya berdetak kencang. Rasanya ia sangat senang sekarang. Senang yang tak bisa ia jelaskan.

"Mama mau dengar? Ayo sini dengar mama," ajak Tristan pada ibunya yang sedari tadi terdiam.

"Tristan sayang, jangan ganggu papa dong. Tidur ya? Kan udah ada mama sama papa," pinta Tarin pada putranya.

"Titan ganggu papa?" tanya Tristan lagi. "Ngga sayang. Tapi ini waktunya Tristan tidur. Jadi, dengerin kata mama ya?" tambah Jonathan.

Anak itu akhirnya memejamkan matanya dan kembali ke alam tidurnya. Mungkin bagi Tristan kecil, ini adalah hari yang paling menyenangkan untuknya. Tidur bersama ayah dan ibunya.


~~~


Tarin terbangun dari tidurnya. Punggungnya terasa keram karena tidak bisa merubah posisi untuk beberapa jam. Ia mengusap wajahnya perlahan, mendapati Jonathan dan Tristan yang masih terlelap.

Jam menunjukkan pukul 8. Ia harus menyiapkan sarapan untuk Jonathan dan Tristan.

Semalam semua terjadi seperti mimpi bagi Tarin. Jonathan datang dan memintanya untuk tidak pergi. Bahkan ia meminta maaf.

Pagi Tarin terasa lebih baik. Setidaknya ini pagi terbaik di lima tahun belakangan. Membayangkan Tristan akan merasakan apa yang semua anak dapatkan dari ayah mereka.

Bermain bersama, bercanda, digendong oleh ayahnya. Tarin pernah merasakan semua itu saat kanak-kanak dan ia ingin putranya juga merasakan hal yang sama.

Jonathan tidak perlu bersusah payah memikirkan Tarin. Ia hanya perlu menjadi figur ayah bagi Tristan. Tarin sudah belajar untuk membuang jauh-jauh perasaannya terhadap Jonathan. Ia mencobanya tiga tahun belakangan dan semua tampak berjalan baik.

Tugas Tarin hanya membesarkan Tristan dengan baik. Putranya yang hadir karena keegoisannya sendiri. Prioritas utama Tarin adalah Tristan.

Turning Back At You [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang