EPISODE 11 - Teladan

1.6K 409 210
                                        

Hai, Readers Mate!

Coba sebut siapa karakter pendukung Expert Mate yang paling kalian kangenin

Kalau dia muncul di episode ini ... Jangan-jangan kalian berjo--

Ish, sudahlah, happy reading~

....

Untuk saat ini, sepertinya optimis bukan kata yang cocok untukku. Kenyataannya lebih mudah mengabaikan roh kecerdasanku sendiri meski selama bertahun-tahun daripada menemukannya dalam hitungan bulan. Namun, aku tidak bisa menyalahkan Kevin yang mengelilingiku dengan semangat dan harapan.

Selain diri sendiri, tentu ada orang lain yang patut disalahkan. Ah, bukannya aku suka menyalahkan seseorang, sih! Tapi seperti yang dibilang Kevin, bagaimanapun aku boleh membela diri. Bagaimanapun, aku tidak akan terjebak kekhilafan semacam ini andai ensiklopedia dari langit hari itu tidak meniban kepalaku.

Mungkin aku tetap bisa hidup tenang seperti Ros meski dalam ketersisihan. Mungkin aku tak perlu khawatir soal reputasiku yang teramat palsu. Mungkin roh kecerdasanku yang tak terlalu cakep akan tetap bersamaku. Andai-andai dan mungkin-mungkin itu sekarang terasa memenuhi kepalaku.

Migrain menyiksa sejak tadi pagi tidak kian membaik karenanya. Jika saja UKS tak terlalu penuh, aku tidak keberatan berlama-lama di sini. Sayangnya, selama upacara berlangsung ada saja yang pingsan –entah pingsan sungguhan atau sekadar cari alasan.

Bau minyak kayu putih, pengharum ruangan, termasuk kaos kaki berkeringat, hanya semakin bercampur dan membuatku pening.

"Muka kamu masih pucat gitu, Bell. Enggak usah maksa balik, istirahat aja dulu!" kata Kak Dayin, petugas piket UKS tiap Senin. Menurutnya istirahat di sini akan lebih memulihkanku?

"Udah mendingan, kok, Kak. Aku enggak mau ketinggalan pelajaran," jawabku sambil turun dari pembaringan.

Setengah sebal karena sepatuku yang sebelumnya terjajar rapi di rak sekarang berserak di sekitar pintu ... dan pintu yang tertutup anteng itu tiba-tiba membuka, menyeruduk ubun-ubun saat aku menunduk memungut sepatu.

"Eh, ma ... maaf! Engsel pintunya enggak lepas, 'kan?"

Demi apa? Kenapa orang ini berbakat sekali mencederai kepalaku? Aku hanya mendesis lirih sebelum menjawab pertanyaan paling tidak penting itu.

"Jahat banget, sih! Malah lebih peduli sama pintu! Kalau masuk ruangan, tuh, salam dulu!" omel Kak Dayin cukup mewakili perasaanku.

"Maaf, Kak ... Baim khawatir merusak barang lagi setelah insiden jebolnya lemari ruang OSIS," jawab si pelaku.

"Tapi kamu enggak pernah khawatir nyakitin aku ya?" balasku sambil mengelus kepala. Entah kenapa kalimat sederhana itu bisa bermakna lain bila Baim yang kutanya.

"Ya ampun, nyakitin gimana? Aku enggak sengaja ... Maaf kalau sakit ya!"

"Wah, enak banget tinggal bilang gitu! Maaf, enggak sengaja, terus masalah bisa kamu anggap selesai gitu aja," jawabku sedikit terbawa emosi.

Dia pikir ketidak-sengajaannya yang dulu tak banyak membuka ladang kesalahan untukku? Aku juga mau dimaafkan semudah itu. Maaf, aku khilaf, lalu roh kecerdasanku kembali begitu saja. Entah kenapa, aku merasa sebaiknya kami tak pernah bertemu.

Hari saat pertama kali roh kecerdasan Baim berkenalan denganku ... benar-benar sesuatu yang keliru. Aku tak seharusnya memulai dulu ... atau sekarang membiarkan Baim bukan menjadi siapa-siapaku setelah konsekuensi datang.

Meski tak yakin Baim bisa banyak membantu, setidaknya aku ingin dia tahu, bagaimanapun kesulitanku ini juga karena ulahnya. Aku ingin sedikit menyalahkannya, membuat Baim turut menanggung setengah bebanku ... andai memang bisa.

Expert MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang