EPISODE 25 - Ujian

1.1K 334 175
                                        

Hai, Readers Mate!

Konon, tiba-tiba bersin tanpa sebab bisa jadi pertanda ada orang yang merindukanmu ... dan She bersin-bersin terus dua hari ini *TerusHarusBilangWowGitu?

Enggak, enggak ... mon maap, yang berlabel 'konon' jangan selalu dipercaya ya! Sekian dulu ngelanturnya. She yakin Readers Mate lebih kangen sama Bella dkk.

Happy Reading~


Jam dinding tak lagi kutoleh setelah matahari terbenam. Ruang tengah yang lega ini juga terlalu nyaman dan tenang, tak ada yang mengganggu fokusku. Hari pertama UAS yang dijadwalkan besok membuatku khusyuk dikelilingi ringkasan-ringkasan dan buku.

Memang bukan ringkasan model lama –rangkuman berparagraf-paragraf yang sama membosankan seperti teks utuhnya, kumpulan peta konsep yang kupinjam dari Kevin jelas berbeda. Visualisasi alur materi ini sangat memudahkan hafalan biologi yang sekian banyaknya.

"Sama kayak jalan-jalan, kalau kamu enggak tahu rute, enggak tahu mau ke mana, jalan-jalan bukannya jadi seru, kamu malah muter-muter enggak jelas dan berakhir nyasar. Iya, 'kan?" kata Kevin yang masih kuingat sejak tadi siang.

Ternyata di situlah letak perbedaan kami selama ini. Dengan langkah belajar yang sama, sama-sama membaca untuk mengingat, tapi tanpa strategi yang benar, pemahamanku tak pernah terbentuk apalagi bertahan lama. Padahal jika memang mau, harusnya aku bisa mencari tahu strategi sederhana seperti itu sejak dulu.

Ternyata memang banyak yang terlambat kusadari, sementara Kevin yang mengaku pernah terjebak kekhilafan yang sama denganku, bagaimana dia bisa bangkit sendiri? Menyadari segala kekeliruan dan berubah atas kemauannya sendiri?

Bukankah seseorang yang bisa melewati masa-masa sulit sendirian itu ... sungguh keren?

"Non, udah waktunya istirahat. Enggak baik anak gadis begadang, 'kan, yah?" tegur Mbok Yah, lanjut menyuruhku kembali ke kamar. Kupikir itu hanya isyarat halus karena aku tak sengaja menjajah wilayahnya saat jam-jam tayangan sinetron favorit.

Namun, setelah kutengok sendiri kalau sekarang memang nyaris tengah malam, barulah kumengerti kalau Mbok Yah sama sekali bukan kebelet menyalakan TV di ruangan ini. Semua tayangan sinetron favoritnya jelas sudah selesai. Kalau memang ingin, harusnya Mbok Yah bisa bilang dari tadi.

"Maaf ya, Mbok. Sebentar lagi Bella selesai, masih mau beres-beres," jawabku, sejenak memijit pangkal hidung.

Orang tua itu pun pergi setelah berpesan agar aku tidak lupa mematikan lampu, tapi alih-alih membereskan buku, kurebahkan sejenak punggung letihku di sofa panjang ini. Jika dirasa-rasa, pandanganku juga mulai berkunang-kunang.

Beginikah rasanya sistem kebut semalam? Terlalu berbeda dengan ujian-ujian sebelumnya yang hanya kupersiapkan dengan tidur total, kuandalkan dengan kesetiaan Vivian, sama sekali tak ada yang kukhawatirkan.

Sementara sekarang, setelah semua yang kulakukan, roh kecerdasanku belum juga menunjukkan tanda-tanda keberadaan, seolah menjadi isyarat skenario terburuk kalau aku tak akan pernah memilikinya.

Tak akan ada yang terikat denganku saat loyalitas tujuh belas ... dan aku pun berakhir menjadi satu-satunya manusia tanpa roh kecerdasan. Tiba-tiba itu menjadi mimpi buruk terbaru. Otot-ototku melemas hanya karena membayangkannya.

Janji membereskan buku atau mematikan lampu, termasuk pindah tidur ke kamar juga terlupa.  Letih luar dalam, rintik hujan di luar perlahan menarikku jatuh ke bawah sadar. Hingga bunyi saklar terdengar, padamnya lampu ruang tengah kian membawa kegelapan yang damai.

Expert MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang