EPISODE 17 - Pawang

1.1K 358 124
                                        



Aku tak ingat, siapa yang menyalakan lilin di kamar? Nyala api di ujung sumbunya sesekali meliuk, seolah ada semilir angin di dalam sini, semilir yang juga membuatnya padam.

Bayangan di dinding dan semua yang kulihat pun tiba-tiba lenyap menjadi gelap. Harusnya benar-benar gelap, pekat, dan tak ada yang bisa kulihat, tapi sesuatu di dekat ujung kakiku terlalu berkilau untuk tak terlihat.

Bulatan cahaya merah ... amat mengundang untuk kusentuh. Sayangnya, jemariku hanya menggapai udara kosong. Sepasang tangan yang tiba-tiba muncul lebih dulu mendekapnya.

Sepasang tangan yang muncul dari kegelapan ... mustahil bila aku tidak terkejut karenanya. Bahkan keterkejutan itu jugalah yang membangunkanku. Lumayan bersyukur karena aku tak harus betul-betul menghadapi makhluk entah apa tadi.

Syukurlah, itu hanya mimpi! Jika ada yang ingin tak kusyukuri mungkin hanya pening ini ... Kenapa tiba-tiba terasa seperti ini?

Jawaban itu kudapat setelah Mbok Yah masuk membawakan teh hangat. Orang tua itu juga terkejut saat Baim membawaku pulang dalam keadaan pingsan. Ah, obrolan di kantin tadi seketika kuingat, tapi kenapa aku harus pingsan, sih?

"Baim sendirian yang anter Bella, Mbok?" tanyaku sambil meraih cangkir teh, mengambil tegukan pertama. Sebisa mungkin menyingkirkan bayangan memalukan Baim yang membopong-bopongku ke sini.

"Yah, Mas Baim sendirian, Non. Tadi naik taksi ... katanya Non Bell enggak kenapa-napa, cuma anemia kayak biasa, yah. Makanya langsung dibawa pulang buat istirahat," jawab Mbok Yah.

Anemia kayak biasa ... aku terkejut Baim masih mengingatnya, padahal nama orang asing yang baru dikenal lima menit sebelumnya dia bisa lupa. Namun, sesuatu yang lebih mengejutkan adalah alasan sebenarnya mengakhiri hubungan kami.

Sok sibuk dan tak ada waktu yang dia bilang waktu itu ternyata memang hanya bualan, bualan tidak masuk akal untuk kapasitas seorang Baim. Maksudku, aku yakin kalau aku tidak lebih merepotkan dibandingkan tiga organisasi favorit di sekolah. Karena itulah aku sempat marah.

Bukannya aku tidak rela kalau hubungan kami harus berakhir, tapi rasa minder dan kecil hati Baim yang tidak perlu itu tak seharusnya ada. Aku tak pernah mengira dia akan memandangku setinggi itu.

Mungkin karena itulah Imba berhenti bicara denganku. Segala manfaat yang kudapat darinya ... ternyata malah membuat tuannya rendah diri, ternyata malah membuatku lebih populer dibandingkan Baim sendiri.

Ya ampun, betapa aku tak tahu batasan waktu itu! Pantas saja Imba menuntut permintaan maaf dariku, tapi sepertinya untuk saat ini permintaan maaf saja sepertinya tidak cukup, 'kan? Ada sesuatu yang belum kuselesaikan ....

"Mbok, boleh minta tolong ambilkan hapeku? Tolong telepon kontak Baim ... Bella masih pusing mau lihat layar," pintaku, lanjut menuntaskan sisa teh.

"Lho? Ngapain telepon, Non? Mas Baim belum pulang, kok! Kayaknya belum selesai makan," jawab Mbok Yah dan aku harus tersedak demi menahan semburan.

"Ma ... makan?" tanyaku tak percaya. Jangan-jangan aku hanya salah dengar.

"Iya, Mas Baim udah tolongin Non Bella, enggak enak kalau enggak ditawari minum, 'kan? Yah, Mas-nya sekalian tanya makan. Ya udah, Mbok siapkan ...."

Seketika peningku lenyap mengetahui tak ada yang berubah dari kelakuan cowok itu. Tiba-tiba saja aku tidak kesulitan berdiri, terlalu bersemangat untuk cepat-cepat meneriakinya agar tahu batasan.

Bahkan selama kami masih pacaran, aku tak pernah mengizinkannya menganggap kalau ini rumahnya sendiri! Duh, jangan-jangan setelah ini dia juga mau numpang mandi?!

Expert MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang