EPISODE 30

2.3K 408 293
                                        

Kemarin dan sekarang terlalu berbeda di mataku. Hari-hari sebelum kemarin yang dipenuhi kuncup harapan, yang kupikir akan merekah dan terwujud sekarang, tapi kenyataannya tidak satu pun ... dan aku tak tahu harus menyalahkan siapa.

Mungkin takdir yang begitu menyebalkan, melambungkanku tinggi-tinggi lalu mengempas tanpa ampun. Merasa bahagia dan kecewa pada hari yang sama ... karena cowok yang sama, aku benar-benar tak tahu bagaimana harus menyebutnya.

Niat Kevin yang tak terbaca, mendorongku dengan berbagai optimisme lalu membiarkanku tersesat di saat-saat terakhir, merahasiakan syarat penting yang harusnya kutahu, sebenarnya demi apa?

Mengkhianatiku dengan cara seperti itu, kupikir selama tiga bulan terakhir yang mengesankan itu kita benar-benar bisa menjadi teman (yang kuharap kian maju menjadi pacar), tapi dengan separuh kepercayaan yang sudah runtuh ini ... mungkin aku tak pernah memandangnya dengan cara yang sama.

"Udah ketemu, Bell?" tanya Kevin saat kami berpapasan di koridor, padahal dia tidak seharusnya bertanya .

"Kamu bisa lihat roh kecerdasan, Vin. Roh kecerdasanku udah nampak atau belum, kamu pasti tahu," jawabku datar, kian mempercepat langkah.

Kuharap Kevin akan berseru sambil menahanku, lalu bilang kalau roh kecerdasanku ada di sini tanpa bisa kulihat, tapi ternyata itu hanya imajinasiku, menyebalkan!

Lalu apa arti usaha dan pengorbanan yang kulakukan tiga bulan terakhir jika sekarang hasilnya nihil? Bila pada akhirnya aku tak mendapatkan apa pun, bukankah lebih baik aku tetap memakai roh kecerdasan orang lain saja?

Tidak, itu tidak bisa ... Teman-teman pintar di kelas sudah di atas tujuh belas tahun. Roh kecerdasan mereka yang kian memudar pasti sudah menempuh loyalitas tujuh belas.

Hanya satu roh kecerdasan yang masih tertangkap jelas oleh mataku sekarang. Wajar saja, sebab pemiliknya bukan penghuni kelas ini. Anak kelas sepuluh yang biasa melayap ke mari, Alvian.

Menempati kursiku di sebelah Rian, dia tak banyak menggubris saat kusuruh pindah. Hanya melirik sekilas tanpa memindah fokus dari ponsel mode miringnya.

"Mas Rian duduk sama Kak Bella? Ngerayunya gimana, hm?" komentar bocah itu seenaknya, segera disangkal Rian kalau posisi duduk ini hasil undian, tapi terlepas dari itu ....

"Kalian udah baikan? Kupikir bocah tengil ini masih enggak kenal sama kita, Yan?" sindirku, ingat betul kata-kata songong Vian waktu itu.

"Pelanggan bawa duit enggak boleh ditolak, Bell!" jawab Rian selalu sayang bisnis game-nya. Giliran Vian utang dan tidak bayar baru tahu rasa!

"Kupikir Kak Bella enggak tahan didiemin lama-lama, jadi karena kasihan, ya udahlah ... Aku enggak keberatan kita saling kenal kayak dulu lagi," balas Vian semakin tidak masuk akal. Kapan aku pernah risau saat dia mengabaikanku?

Namun, jika roh kecerdasan teman-temanku tak ada yang bisa kugunakan lagi, maka roh kecerdasan adik kelas yang setahun lebih muda ini pasti masih bisa berguna. Kebetulan pula dia superior secara akademik di angkatannya, 'kan?

Jika kuingat, dia juga menguasai beberapa materi kelas sebelas dan dua belas saat uji pengetahuan siswa teladan sebelumnya. Ya, aku hanya perlu cepat-cepat melakukan komunikasi dengan roh kecerdasannya.

"Minggir, ini kursiku!" usirku sambil sengaja merebut ponselnya.

Vian yang tak membiarkan hal itu pasti akan menahan ponselnya mati-matian, membuat tangan kami bersentuhan terlalu lama ... dan berkat itulah dunia beratmosfer gelap melahapku seketika.

Dimensi khusus roh kecerdasan Vian, aku datang! Bersiap mengungkap hal-hal berkilau apa pun yang tersimpan, terlebih menemui roh kecerdasan Vian sendiri. Aku harus segera membuat kesepakatan dengannya!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Expert MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang