Hujan yang turun beberapa hari belakangan seolah menjadi alasan bagus untuk bolos classmeeting. Sayangnya, agenda remedi dan remedi tak mengizinkanku mengambil pilihan itu.
Gara-gara hujan juga, OSIS tak bisa menyelenggarakan kegiatan luar ruangan, membuat siapa pun yang tak berkepentingan enggan datang ke sekolah. Sepertinya hanya anak-anak dengan kepentingan remedi saja yang datang ke sekolah beberapa hari ini.
Sedikit menguntungkan bagiku karena tidak harus bertemu teman-teman, apalagi setelah sekian kesalah-pahaman. Pekan remediku pun terasa sedikit menenangkan, sampai akhirnya aku benar-benar merasa sudah selesai, ditandai dengan kuterimanya undangan pengambilan rapor.
Papa yang tidak bisa datang lumayan menghilangkan separuh beban. Terima kasih atas urusan apa pun yang menyibukkan Sal dan papa, hingga tak satu pun dari mereka bisa pulang hanya untuk terkejut mengetahui betapa merosotnya peringkatku semester ini.
Entah akan jatuh di urutan mana, kehancuran sejak pertengahan semester sangat bisa mengempaskanku dari tiga besar. Setidaknya aku tak perlu menelan kemarahan dan segala nyinyiran papa dalam waktu dekat. Aku akan punya banyak persiapan untuk mendengarnya.
"Kupikir Papa udah balik sejak beberapa minggu lalu, Bebi," kata Sal saat meneleponku, padahal aku sudah akan bersiap ke sekolah mengambil rapor mandiri.
"Papa enggak ada di rumah, Sal! Lagi pula ... udah sejak beberapa minggu lalu? Emangnya papa punya waktu sebanyak itu? Kalau emang libur panjang, aku yakin dia bakal lebih menyibukkan diri di lab sama temen-temennya!" bantahku.
"Um, yah ... mungkin papa ada tugas ke tempat lain," gumam Sal terdengar ragu. "Tapi tenang aja, Bebi! Aku selalu ada di pihak kamu buat bikin papa ngerti. Apa pun hasil yang kamu dapat nanti ...."
"Kamu udah tahu soal hasil belajarku semester ini, Sal? Termasuk peringkat?" potongku, cukup menyadari hal itu dari kata-katanya.
"Eng ... enggak, kok! Aku cuma antisipasi hal buruk aja, dear!"
"Akui aja, Sal ... Edo yang selalu punya informasi dari orang dalam pasti cerita banyak hal, tahu segala sesuatu lebih awal! Tentu saja kamu tahu hal buruk bakal terjadi sama aku," jawabku lesu, mengakhiri telepon begitu saja ... karena hal buruk yang sudah terkonfirmasi itu sudah saatnya dijemput.
Kutengok jam dinding, sekarang pertemuan wali murid itu pasti sudah selesai, memperkenankanku dan siswa-siswi lain yang tak diwakili orang tua mengambil rapor mandiri. Tak terlalu lama bersiap, aku sudah mengenakan jaket ketika kudengar suara pintu depan seperti dibanting.
Tidak terlalu mengejutkan ... karena satu-satunya yang membuatku berasa jantungan malah seseorang yang nyelonong masuk begitu saja.
"Kamu lagi sakit gini mau pergi ke mana?" tanya suara yang kuhindari dari telepon beberapa hari ini, tapi akhirnya malah kudengar langsung detik ini juga.
Menggosok mata berkali-kali, aku tak pernah menyangka mimpi buruk bisa senyata ini. Papa yang tiba-tiba muncul tanpa pertanda ... dengan buku lebar bersampul hitam tebal di tangannya. Raporku, Papa sudah mengambilnya?
"Istirahat aja, muka kamu pucat, tuh!" kata Papa segera menggandengku masuk, padahal justru dirinya yang membuatku pucat, terlebih berbagai keanehan yang tak bisa kuterima. Aku tidak terima di-prank seperti ini!
"Bu ... bukannya papa enggak bisa pulang? Papa minta scan raporku aja waktu itu, 'kan?" cecarku.
"Kamu enggak suka Papa pulang?" tanyanya balik ... dan bukan salah responsku yang terlalu jujur, terlanjur mengiyakannya.
Aku sudah siap dengan bentakan atau bantingan buku rapor di hadapanku, tapi ternyata aku harus begidik ngeri karena Papa malah ... tersenyum? Anomali, ini bukan termasuk tanda-tanda kiamat, 'kan?

KAMU SEDANG MEMBACA
Expert Mate
Teen FictionHai, aku Bella. Hidupku mulai seru sejak ketiban ensiklopedia waktu SMP dulu. Bagai ketiban berkah, aku bisa melihat roh kecerdasan orang lain setelah itu. Sejumlah prestasi kudapat dengan memanfaatkan mereka, sementara roh kecerdasanku sendiri? Tid...