Lisa sudah menantikan hari ini begitu lama, setelah berhari-hari seragam putih disertai rok berwarna cokelat itu lama tak membalut tubuhnya lagi, kini dapat ia lihat, seragam khas SMA Gaska sudah terpasang sempurna ditubuh rampingnya.
Dengan senyum sumringah terpatri dibibir plumnya, cewek itu meraih tas yang sempat ia taruh diatas meja rias, berjalan sedikit santai keluar kamar, syukurlah sebab efek samping kemoterapi sudah sepenuhnya hilang, dua minggu ke depan—ia akan kembali menjalankan jadwal kemoterapinya itu.
Namun tak berselang lama setelah kakinya menapaki anak tangga terakhir hingga ia benar-benar berdiri dilantai pertama. Suara gelak tawa dari Lucy terdengar tak jauh dari tempatnya berdiri, dapat ia lihat seorang lelaki bertubuh tegap dengan kemeja putih duduk disamping wanita itu sembari memangku Rion—serta Yujin yang duduk dilantai tepat dihadapan Lucy dengan posisi membelakang agar wanita itu dapat dengan leluasa menyisir rambutnya.
Benar-benar seperti keluarga bahagia.
Tidak apa-apa, Lisa bisa mengatasi ini, ia hanya perlu pamit pergi tanpa harus banyak bicara pada mereka, sebab semakin ia berada dalam lingkaran kehangatan keluarga mereka—semakin sesak dadanya ketika memori manis tentang papanya kembali berputar.
“Ma, aku pamit ke sekolah.”
Lucy yang tengah menata rambut Yujin mendongak, ia tersenyum. “Kamu gak sarapan dulu?”
“Gak papah, aku bisa sarapan di kantin.”
“Gak boleh makan telat lho, Sa. Kamu lagi sakit,” sahut Sean—lelaki paruhbaya dengan wajah tampan yang dihiasi sedikit kerutan disana, tanpa sadar ucapannya justru memberi makna lain bagi Lisa.
“Iya tau kok, aku penyakitan.”
“Lisa ....”
“Apa?” Lisa menoleh ke arah Lucy setelah mendapat teguran halus namun dengan nada ketegasan yang terdengar ditelinganya.
“Dia papa kamu Lisa.”
“Emang kenapa? Apa ucapan Lisa tadi salah?” Lisa tertawa, memalingkan wajah ketika Yujin berdiri hendak menghampirinya. “Aku cuma mau pamit ke sekolah.”
“Bareng-bareng aja, sekolah kamu dan Yujin juga searah dengan kantor Papa.” lagi-lagi Sean menyahut, lelaki itu tak akan menyerah dengan mudah untuk mendapat hati dari sang anak tiri.
Tidak, Sean tidak seperti kebanyakan ayah tiri di novel, komik, maupun film. Ia baik, menerima Lisa tanpa memandang status, bahkan tak peduli jika gadis remaja seusia Yujin itu bukanlah darah dagingnya, mungkin karena itu juga—sifat baiknya menurun pada Yujin—yang tanpa sadar membuat guratan luka dihati Lisa kembali melebar, sebab kebaikan Sean lah yang membuat Lisa harus kehilangan Lucy selama empat tahun.
“Gak papah, aku bisa berangkat sendiri, naik bus, ojek, atau jalan kaki pun gak papah.”
“Lisa ....” panggil Lucy sekali lagi kala melihat Lisa yang masih bersikukuh pada pendiriannya. Cewek itu berbalik dengan langkah santai seakan percakapan tadi sama sekali tak berpengaruh padanya.
Bahu Lucy bergetar hebat, memilih menutup wajah menggunakan kedua telapak tangannya agar tak menangis dihadapan Rion dan Yujin. Lisa sudah membangun dinding kokoh diantara mereka, sebagai tanda bahwa Lucy tak akan pernah bisa mendapatkan maaf dari anaknya itu.
“Gak papah, dia masih perlu waktu.” Sean menggenggam telapak tangan Lucy guna menyalurkan ketenangan pada sang istri. “Dia sayang sama kamu, dia pasti bisa maafin kamu.”
Lucy menoleh dengan wajah sembab. “Maaf, harusnya waktu itu aku dengerin kamu.”
Sedari tadi hanya menjadi penonton, Yujin hanya sanggup menatap Lucy dengan tatapan sendu—meski wanita didekatnya ini bukanlah ibu kandungnya, tetapi harus Yujin akui, Lucy berhasil membuatnya kembali merasakan kasih sayang seorang ibu. Ya, Lucy berhasil menjadi ibu yang baik bagi Yujin dan Rion, namun tidak bagi Lisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trouble Couple
FanfictionJungkook itu gila, tak berperasaan, dan pembuat masalah. Ia sering menolak, tapi tidak suka ditolak. Ia benci pria bernama Jaehyun, tapi ia menyukai gadis bernama Lalisa. Gadis pertama yang berani menampar, menjambak, bahkan menggigit kulitnya. Mus...