DISPENSASI

2K 25 6
                                    

Setelah berjalan beberapa belas meter melewati lorong-lorong koridor dari resepsionis kampus tempat satpam menunggu tamu, Ana sampai di depan sebuah ruangan dengan plakat tertempel di depan pintu kaca bertuliskan 'Ruang Wakil Direktur II'. Wakil Direktur pada suatu akademi berarti setara dengan wakil dekan pada sebuah fakultas jika institusi berkategori universitas.

"Asalamualaikum, Permisi Pak" salam Ana pada Pak Budi, sang Wakil Direktur II seraya mengetuk pelan pintu kaca itu sambil setengah membukanya. Suara ketukannya bahkan tidak terdengar.

"Walaikumsalam. Iya, Mbak. Silakan masuk!" jawab Pak Budi mempersilakan.

Terlihat ada dua mahasiswa juga yang baru saja selesai menemui Pak Budi. Dari tentengannya, jelas bahwa dua mahasiswa itu adalah para pejuang skripsi yang masih bergelut sebelum sidang akhir nanti. Ana sekilas saja menatap dua mahasiswa itu, lekas menghampiri Pak Budi dan menyodorkan tangannya untuk mencium tangan beliau. Mereka duduk berhadapan dibatasi sebuah meja kerja dengan laptop yang masih terbuka dan dokumen-dokumen yang berjajar.

Ruangan Pak Budi tidak terlalu luas, tapi sangat estetis dan penuh pernak-pernik hingga memunculkan kesan mewah. Yang paling gagah di ruang kerja itu adalah meja kerja. Setiap sisi meja kerja itu dibuat meliuk-liuk penuh dengan ukiran Jepara yang anggun dan berkharisma. Pada dinding tepat di belakang kursi Pak Budi, terpampang foto presiden dan wakil presiden yang ditengahi oleh lambang garuda pancasila yang gagah, pun terpasang juga bendera merah putih berdampingan dengan panji Akademi Farmasi Jakarta yang ditopang tiang besi setinggi dua meter, tepat di bawah foto pemimpin negara itu. Di dinding-dinding yang lain, terpasang juga lukisan-lukisan abstrak warna-warni dan foto para petinggi serta senat kampus.

Kursi tempat Pak Budi duduk adalah kursi putar. Sesekali bahkan beliau menggoyang-goyangkan tempat duduknya itu ke kiri dan ke kanan. Orang-orang biasa menyebutnya dengan "Kursi Bos" atau "Kursi Direktur". Bahan yang digunakan pada kursi ini adalah material faux leather yang empuk, nyaman diduduki seharian suntuk sekali pun. Tampilan luar kursi tersebut tampak mewah dengan fitur sandaran yang cukup luas melebihi tinggi kepala. Dan paling penting, sangat menunjukkan kewibawaan. Kursi itu berbanding terbalik dengan kursi untuk tamu. Bentuknya lebih pendek, lebih sederhana dan sedikit keras. Mungkin terlalu kasar jika kita sebut mengesankan nuansa feodal. Tetapi, jika melihat dua orang duduk berhadapan di situ, seperti Ana dan Pak Budi itu, memang menunjukkan hegemoni sang empunya ruangan.

"Ada apa Mbak di pekan tenang begini? Habis kuliah pengganti?" tanya Pak Budi dengan tampang mendatar dan serius. Matanya hanya sesekali melihat ke arah Ana karena masih sibuk menandatangani dokumen-dokumen mahapenting yang terpampang di hadapannya.

"Tidak, Pak. Saya dari rumah memang sengaja datang ke kampus mau menemui bapak." jawab gadis berjilbab merah muda itu dengan singkat sambil terus mengeluarkan senyum ramahnya.

Mendengar penjelasan Ana, Pak Budi menghentikan aktivitas dengan pulpennya dan menatap Ana.

"Dengan Mbak siapa dan semester berapa?" tanya Pak Budi masih dengan ekspresi yang sama, lurus dan datar.

"Nama saya Ana, Pak. Ana Renata, Semester 6 Program Farmasi."

"Ya, silakan dilanjutkan keperluannya!" jawab pria paruh baya itu, dan kembali dengan coretan-coretannya di atas meja.

"Mohon maaf Pak sebelumnya. Sebentar lagi kan UAS. Nah, saya kebetulan belum mendapatkan cetak kartu peserta ujian. Alasannya, saya belum bisa melunasi biaya perkuliahan semester ini, Pak. Maksud saya menemui Bapak, saya mohon diberikan dispensasi waktu pembayaran dan tetap dapat ikut ujian. Jujur saja, Pak. Ayah saya belum mengirimkan uangnya." terang Ana sambil menangkupsilangkan jari-jemari di atas pahanya. Gestur tubuhnya menunjukkan suasana pengharapan. Berharap permohonan dispensasi pembayaran kuliah disetujui oleh Pak Budi.

FARMAKOLOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang