ASISTEN APOTEKER

250 11 0
                                    

Mulailah Ana bekerja di apotek milik Bu Yusni. Hari-hari berlalu begitu cepat hingga tidak terasa telah beberapa bulan dia bekerja di tempat itu. Ana terlihat begitu kerasan dan semangat. Dari hasil kerja itu, sebagian gajinya ia simpan di bank sebagai tabungan, dan sebagian lagi dia serahkan kepada ibunya untuk keperluan keluarga. Beberapa ratus ribu saja dia ambil untuk keperluannya, pulang-pergi ke tempat kerja di daerah Daan Mogot Jakarta. Lumayan jauh dari rumahnya di Tangerang.

Ana menerima tawaran bekerja sebagai asisten apoteker pada salah satu cabang apotik milik Bu Yusni, dosen pembimbing akademiknya saat masih kuliah. Bu Yusni sendiri sebagai pemilik hanya seminggu sekali datang memantau kinerja para karyawannya. Seluruh tanggung jawab selama beliau tidak ada diserahkan sepenuhnya pada seorang apoteker senior yang dipekerjakan oleh beliau.

Ana bekerja setiap lima hari dan diselingi libur sehari. Jika Senin sampai Jumat masuk, berarti pada hari Sabtu dia mendapatkan jadwal libur dan akan kembali masuk pada hari Minggu. Untuk jam kerja, sama seperti karyawan pada umumnya yang memiliki beban kerja selama 8 jam sehari. Namun jam kerja itu kadang lebih jika Ana memilih untuk lembur sebagai tambahan penghasilan. Apotek itu memiliki 2 shift, yang pertama dari pukul 08-00 sampai 16.00 dan shift kedua pada pukul 16.00 sampai pukul 23.00.

Pada malam itu, Ana sedang bersiap pulang selepas bekerja shift kedua. Tepat pukul 23.00, Ana meninggalkan apotek bersama beberapa temannya yang lain. Di gerbang terdepan tempat kerjanya, mereka berpisah. Ada yang dijemput keluarganya, dan ada pula yang membawa kendaraan sendiri. Sedangkan Ana, biasanya dia pulang dengan menggunakan mikrolet atau memesan ojek online.

Namun, malang dilanda Ana di malam itu. Sudah setengah jam berlalu, tidak satu pun kendaraan umum yang lewat. Demonstrasi atas kenaikan harga BBM dan persitegangan dengan pengojek online membuat sebagian besar pengemudi kendaraan umum menghentikan tarikannya lebih awal, dan banyak pengemudi ojek online tidak beroperasi. Sehingga, malam itu, sepi. Hanya beberapa penjual pecel lele yang bersiap-siap untuk pulang karena dagangannya sudah habis.

Ana ingat sesuatu. Mungkin saja seseorang yang dikenalnya bisa menolong, yaitu Azhar. Tapi dia ragu. Beberapa kali ponsel di tangannya membuka kontak atas nama Azhar, tapi setiap kali dia akan menekan tombol hijau, dia mengurungkan niatnya. Ana takut justru teleponnya kemudian akan mengganggu.

Tetapi, waktu semakin dibiarkan, maka akan semakin berlalu. Beberapa pedagang yang tadi masih berberes-beres, tidak terasa sudah tak terlihat. Mereka sudah pergi. Suasana malam itu kian lama kian hening dan sepi. Ana panik, dia mencoba memberanikan diri menghubungi Azhar. Diraihnyalah kembali ponsel itu, dia coba telepon Azhar.

Bunyi deringan tanda telepon memanggil pun muncul. Beberapa saat kemudian, Azhar mengangkat telepon itu.

"Ya, Dek, ada apa tumben malam-malam telepon?"

"Mas Azhar, aku boleh minta tolong?" Ucap Ana dengan nada panik. Gaya bicaranya persis seperti orang yang sedang ketakutan.

"Loh, kenapa? Kamu lagi di mana?"

"Ini aku baru pulang dari tempat kerja. Tapi gara-gara ada demo angkot tadi siang, sekarang udah ga ada angkot lagi. Aku coba pesen ojek online juga gak ada yang terima order..."

Belum sempat Ana merampungkan permintaan tolongnya, Azhar langsung sigap dengan apa yang terjadi pada Ana malam itu.

"Astaghfirullahalazim, jadi sekarang kamu masih di tempat kerja, Dek?"

"Iya, Mas."

"Yaudah, tunggu sebentar ya, Aku langsung ke sana, kamu balik aja dulu ke depan apotek, tunggu di apotek aja. Jangan nunggu di pinggir jalan. Bahaya!. Aku langsung ke sana."

Seketika itu juga, Azhar melompat dari pembaringannya, mengambil jaket, helm, dan langsung tancap gas. Malam itu dia belah dengan kecepatan 80 kilometer per jam. Azhar mengebut, dia takut terjadi apa-apa pada Ana, apalagi sudah hampir tengah malam. Cinta memang bisa membuat orang yang mengecapnya menjadi gesit, cekatan, dan pemberani.

Beberapa menit kemudian, Azhar sampai di apotek tempat Ana bekerja. Dia melihat gadis itu tengah duduk-duduk di kursi bawah pohon rindang yang dihiasi lampu temaram sambil menyandar.

"Dek?" Sapa Azhar memecah kesepian malam dan lamunan Ana yang terpejam.

"Mas Azhar, terima kasih udah mau tolong Aku. Maaf ya udah lagi-lagi ngerepotin." Mata gadis itu sedikit memerah, menahan tangis ketakutan, tengah malam seorang diri dan jauh dari rumah.

"Gak apa-apa lah, Dek. Ayo cepet, aku anter kamu pulang."

Ana pun lekas naik. Di perjalanan, mereka melaju dengan santai.

"Dek?"

"Iya, Mas?"

"Untuk berikutnya, besok-besok, kalau kamu sedang shift malam, biar aku jemput aja."

"Gak usah, Mas. Ini kan kebetulan lagi susah kendaraan aja. Biasanya juga banyak."

"Gak apa-apa, Dek. Biar aku jemput aja. Pokoknya kamu jangan nolak ya. Malam-malam di sini tuh bahaya. Takutnya ketemu sama orang jahat. Kalau harta, mungkin masih bisa dicari, tapi kalau keselamatanmu, gimana?"

Sejenak Ana berpikir,

"Yaudah, Mas. Yang penting, Aku gak merepotkan Mas Azhar aja."

Azhar sumringah dalam hati.

Sejak kejadian malam itu, jika kebetulan Anamendapatkan shift kedua, maka dia akan dijemput oleh Azhar untuk pulang karenasuasana tengah malam sangat rawan kejahatan. Titik itulah menjadi puncakkesempatan Azhar untuk mendapatkan hati Ana. Azhar sangat mensyukuri kesempatanitu.

FARMAKOLOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang