LAMARAN

258 12 0
                                    

Permohonan maaf Rendra yang bersambut oleh Ana tempo hari, tidak disia-siakan. Dia langsung melakukan diskusi bersama keluarganya untuk segera melangsungkan prosesi lamaran. Mengingat, Rendra tahu betul bahwa pasti Azhar pun akan segera melakukan hal yang sama, cepat atau lambat. Dia berharap, keputusan untuk melamar Ana secepat mungkin merupakan satu langkah yang lebih maju daripada Azhar.

"Jadi, kamu betul-betul sudah mantap mau melamar Ana, Ren?" Tanya Pak Yusuf, Ayah Rendra.

"Iya, Pah. Biar Rendra lega. Sisanya biar Rendra serahkan sama Allah."

"Memangnya kamu sudah yakin kalau Ana akan menerima kamu? Dengar-dengar cerita dari mamamu, katanya pas kamu gak kasih kabar dia sewaktu kamu di US, dia dekat sama laki-laki lain. Salah kamu loh itu. Perempuan kok perasaannya digantung begitu!"

Rendra berpikir sesaat sebelum mantap menjawab,

"Papa tahu kan alasan Rendra kenapa begitu. Tapi, insyaallah Rendra yakin Ana akan menerima lamaran Rendra, Pah. Rendra juga yakin Ana punya sikap. Dia cuma ragu dan tidak enak sama Azhar, laki-laki yang deket sama dia itu. Toh Ana juga sudah memaafkan semua salah Rendra. Jadi, Rendra yakin Ana akan menerima Rendra. Insyaallah ini sudah Rendra pikirkan baik-baik."

"Kalau memang sudah mantap ya sudah. Papa dan mama cuma bisa mendoakan kalian mendapat ridho dari Allah, dan segala niatan baik ini diberikan kelancaran. Semoga Ana mau menerima kamu apa adanya nanti ya."

"Iya Pah, terima kasih dukungannya."

Perundingan keluarga pun tentu tidak memerlukan waktu lama. Keluarga menyerahkan sepenuhnya kepada Rendra sebagai pihak yang akan memikul semua tanggung jawab pernikahan. Lagi pula, apa lagi yang ditunggu-tunggu. Tidak ada yang kurang pada diri Rendra sebagai seorang bujangan. Pendidikan tinggi, karir cemerlang, materi lebih dari cukup, tinggal jodoh saja yang belum hinggap, harus segera dijemput sebelum ditelikung oleh orang lain. Keluarga sepakat, proses lamaran akan segera dilangsungkan di akhir pekan.

Rendra menghubungi Ana melalui pesan singkatnya, mengabarkan bahwa di akhir pekan, tepat di malam Minggu, keluarganya akan datang untuk melamar. Menerima pesan itu, Ana justru gamang untuk menyikapinya. Antara senang dan bingung. Senang karena Rendra secara mantap menunjukkan keseriusannya, tapi juga bingung dengan apa yang harus ia katakan kepada Azhar.

Pada waktu yang telah ditentukan, tibalah waktunya acara lamaran yang ditujukan kepada Ana oleh Rendra. Malam itu, Rendra hanya ditemani oleh Ayah dan Ibunya, Pak Yusuf dan Bu Sarah, mereka datang ke rumah Ana.

Keluarga Rendra diterima dengan baik oleh keluarga Ana. Suguhan-suguhan sederhana sudah disiapkan guna menyambut kedatangan tamu spesial yang akan menjadi titik penentu masa depan anak-anak mereka kelak.

Dua keluarga itu kemudian duduk berhadap-hadapan, dibatasi oleh meja yang berisi suguhan sebagai lambang penghormatan kepada tamu. Ana, duduk diapit oleh kedua orang tuanya. Begitu pun halnya dengan Rendra, dia duduk di antara kedua orang tuanya.

Pak Yusuf memulai percakapan utama,

"Maksud dari kedatangan kami kemari ini, Pak Zainal, tidak lain untuk menyambung tali silaturahim yang lebih erat lagi. Di mana, silaturahim banyak sekali manfaatnya, yaitu dapat mendatangkan rezeki, dan dapat memperpanjang umur. Nah maka dari itu, cara untuk menyambung tali silaturahim itu salah satunya dengan menyatukan anak-anak kita dalam suatu ikatan yang halal, yang diridhoi oleh Allah. Saya, mewakili anak saya, Muhammad Rendra, berniat untuk melamar putri Bapak dan Ibu, yaitu Ana."

Mendengar penjelasan panjang dari Pak Yusuf, semua yang hadir di tempat itu merespon dengan senyum kehangatan.

Penjelasan itu pun dijawab oleh Pak Zainal, "Alhamdulillah, terima kasih kepada Nak Rendra beserta keluarga, Pak Yusuf, Bu Sarah sudah mau hadir di rumah kami yang sederhana ini. Jika ada kurang-kurang berkenan karena sambutan kami, mohon dimaafkan. Yah, jujur saja kondisi kami memang begini adanya. Adapun, terkait permintaan dari pihak Nak Rendra untuk melamar anak kami, sebetulnya sudah didiskusikan juga oleh kami secara kekeluargaan. Sungguh sebenarnya kami menyetujui apa pun asalkan anak-anak kita senang dan bahagia. Kalau saya pribadi, sejujurnya saya setuju-setuju saja. Terlebih Nak Rendra ini adalah pribadi yang baik, sopan, dan insyaallah soleh. Tapi kembali lagi, keputusan ada di tangan Ana, karena bagaimana pun dia yang kemudian menjalani selanjutnya."

FARMAKOLOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang