KEPUTUSAN

252 9 0
                                    

Waktu seminggu yang telah dijanjikan akhirnya tiba juga. Bagi Ana, waktu semenjak lamaran datang ke hadapannya, sampai dia harus memutuskan pilihan, serasa begitu cepat. Sebaliknya, bagi Azhar dan Rendra, waktu menunggu putusan Ana adalah waktu yang terasa begitu lama. Memang begitulah sifat waktu. Jika kita menunggu waktu, dia menjauh, lambat, dan sombong. Tapi jika kita menghiraukan waktu, maka dia akan cepat, gesit, dan pergi begitu saja dengan kejam.

Malam putusan pun tiba, Ana cuma menggenggam-genggam ponselnya saja sedari tadi, tanpa berani menghubungi Azhar atau pun Rendra.

"Kamu sudah yakin dengan keputusan kamu, Sayang?" Tanya Bu Yani melihat anaknya gelisah harus bagaimana memulai keputusannya.

"Keputusan Ana insyaallah sudah bulat, Bu... Tapi Ana bingung gimana cara mulainya. Ana takut salah ngomong dan malah jadi menyakiti orang lain."

"Pada setiap keputusan yang diambil atas dua pilihan, yang tersakiti akan selalu ada, Na... Yang terpenting, kamu yakin bahwa pilihanmu adalah pilihan yang diridhai oleh Allah. Bismillah, Sayang..."

"Menurut ibu, siapa dulu yang harus dihubungi?"

"Ya terserah kamu, mau yang diterima dulu, atau yang ditolak dulu... Yang penting, ya seperti yang ibu bilang tadi. Bismillah dulu...!" Ucap Bu Yani dengan perlahan. Tangan halus sang ibu itu membelai-belai kepala anaknya yang dijangkiti kebingungan.

Ana mengangguk. Akhirnya, dia pun memantapkan diri memberikan keputusan tentang lamaran siapa yang harus dipilih. Ana memulai dengan menghubungi salah satu dari dua pria itu, Azhar.

Di tempat lain, Azhar yang sedang mengaji Quran malam itu langsung menyelesaikan bacaannya dan melompat ke kasur saat mendengar suara panggilan masuk. Dia yakin, itu dari Ana. Suara deringan ponselnya tiba-tiba memecah keheningan malam dan menyatu dengan dinginnya suasana kamar mes yang disirami tiupan kipas angin level dua.

"Asalamualaikum, Dek?" Salam Azhar sesaat mengangkat telepon itu. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang seperti tabuhan genderang perang kolosal antarkerajaan. Karena dia tahu, titik balik kehidupannya akan segera dimulai dari percakapan ini.

"Walaikumsalam... Lagi sibuk, Mas?"

"Ngga kok, Dek. Lagi baca-baca aja. Lagi gak sibuk?" Jawab Azhar singkat. Lidahnya menjadi sedikit kaku. Telapak tangannya mendingin dan degupan jantung pun semakin cepat.

"Mas, ini waktunya Aku ngasih keputusan..."

Azhar yang dari tadi memang sudah tidak tenang, menjadi semakin gelisah mendengar kata 'putusan' yang dilontarkan Ana sebelumnya. Dari posisinya yang sedang berdiri, Azhar kemudian duduk di tepi ranjang. Dia berharap dunia berhenti berputar dulu saat itu, takut kata-kata Ana tidak sesuai dengan apa yang diidam-idamkannya.

"Iya, Dek... Sesuai janji kamu, ini sudah seminggu... Dari lamaran lalu tiap malam aku terus berdoa semoga Allah menunjukkan wajahku di mimpimu... Semoga sesuai yang aku harapkan." Jawab Azhar dengan nafas yang dia atur semaksimal mungkin. Hampir dia tersengal-sengal mengucapkan kalimat yang cukup panjang dengan kondisi detak jantung yang sedang kacau itu.

Mendengar penuturan Azhar, tiba-tiba lidah Ana tercekat. Segala macam hal yang ingin dia utarakan seperti terkunci dan tidak bisa dia keluarkan. Sesaat itu, Ana mengingat kembali bagaimana Azhar memberikan perhatiannya yang begitu besar. Bahkan Sangat besar. Terutama ketika dia tidak tahu, di mana Rendra berada.

Ana ingat betul bagaimana hatinya yang mengosong, lalu hadirlah Azhar yang mewarnai kekosongan itu. Membantu, berkorban, membuat canda-tawa yang siapa pun tidak akan pernah bisa melupakan masa-masa indah memiliki seorang teman dekat yang begitu baik dan perhatian. Dan ternyata, di balik perhatian Azhar yang teramat mendalam, tersimpan juga rasa cinta yang besar. Cinta yang tulus, cinta yang tidak meminta satu apa pun kecuali satu tempat di sisi hati Ana, agar cintanya bisa bersemayam di situ, di hati itu.

FARMAKOLOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang