SARJANA BARU

268 11 1
                                    

Bagi seluruh mahasiswa di seantero dunia ini, peristiwa yang ditunggu-tunggu tidak lain adalah prosesi wisuda. Suatu hari di mana segala macam kepenatan, kepusingan, batas waktu, dan problematika perkuliahan diselesaikan secara mantap di hadapan orang tua dan para petinggi perguruan tinggi tempat seseorang belajar. Saat itulah, seorang mahasiswa yang menempuh pendidikan sarjana selama kurang lebih empat tahun menyelesaikan masa pendidikannya.

Hari selebrasi kemenangan itu yang akhirnya dirasakan oleh Ana. Setelah berbulan-bulan berkutat dengan laboratorium, perpustakaan, laptop, dan revisi dari dosen pembimbing, akhirnya skripsinya dapat diselesaikan. Diawali dengan sidang di hadapan dewan penguji dan berburu tandatangan pascayudisium hasil sidang, proses panjang tersebut diakhiri dengan prosesi wisuda yang diadakan di gedung Jakarta Convention Centre (JCC) Senayan, Jakarta, tepat di penghujung tahun, Desember.

Di rumahnya, Ana sudah berdandan rapi dengan kebaya biru muda yang memantulkan kerlap-kerlip asesoris perak yang bergelantungan di sudut-sudut pakaian wajib wisuda itu. Baju toga sudah disiapkan. Balutan kerudung panjang masih menutup sebagian tubuh gadis itu dari balutan kebaya yang cukup ketat, yang sebenarnya membuat Ana sedikit risih. Namun baginya tak apa, toh nanti akan tertutup juga oleh pakaian toga.

Lama Ana memandangi cermin. Memoles lipstik merah muda yang warnanya tidak terlalu berbeda jauh dengan warna bibirnya. Lebih terlihat sebagai pengkilap semata.

Pak Zainal, Bu Yani, dan adik-adik Ana yang lain sudah bersiap di depan rumah. Tak lama kemudian, Ana pun keluar. Keluarga sederhana itu pun siap-siap untuk pergi mengantar wisuda Ana yang telah dinanti-nanti.

Di depan gang rumah, Ana menengok ke kiri dan ke kanan, seperti mencari sesuatu sebelum mereka pergi.

"Cari apa, Nak?" tanya Pak Zainal dengan sedikit gugup. Dia tahu, Ana akan menanyakan hal yang tidak dia harapkan.

"Mobil Ayah mana? tanya Ana singkat. Matanya masih berjalan-jalan ke kiri dan ke kanan.

"Ya mobilnya ayah tinggal di kontrakan. Kita ke JCC naik taksi aja, Nak."

"Ayah bohong, ya? jawab Ana jujur, Yah. Mobil ayah ke mana?" tanya Ana curiga. Pertanyaan-pertanyaan kemudian semakin meneror Pak Zainal. Melihat gelagat itu, Bu Yani memandangi wajah suaminya, sementara Pak Zainal nampak seperti gelagapan mencari jawaban atas pertanyaan tadi.

"Sudah, Na. Jangan bicara begitu ah ke ayah. Gak baik." selak Bu Yani mencoba mengakhiri rentetan pertanyaan anaknya.

Seperti tidak menghiraukan pernyataan ibunya, Ana masih melayangkan pertanyaannya pada Pak Zainal, "Ayah jual mobil kesayangan Ayah? Ayah jual ya buat bayar sewa alat lab Ana kemarin? Jawab Ayah! Itu mobil kesayangan Ayah, kan?" cecar Ana. Tapi cecaran itu diiringi air mata yang kemudian mengalir. Ana memeluk ayahnya.

"Gak apa-apa, Nak. Gak usah dipikirkan. Kamu harus lulus tepat waktu!" ucap Pak Zainal yang sudah kepalang tanggung tertangkap basah telah menjual mobil kesayangannya untuk membayar sewa lab yang cukup mahal. Mobil itu memang tidak lagi bisa dijual dengan harga tinggi, hanya laku 20 juta. Tangan lelaki tua itu mengusap-usap kepala anaknya.

"Tapi Ayah kenapa harus bohong sama Ana, Yah? Kenapa harus bohong?" tanya Ana kembali dengan sesegukan. Bu Yani mengusap air mata Ana dengan tisu saat melihat air itu sedikit demi sedikit menghapus balutan bedak yang sejak subuh sudah Ana tata.

"Karena ayah tahu, kamu gak akan bolehin ayah. Lagi pula sisa uangnya masih ada, masih bisa ayah manfaatkan buat tambah modal. Biar usaha ayah makin rame. Sudah, doakan ayah terus, ya!"

"Tapi Ayah harus janji jangan bohong lagi sama Ana!" ucap Ana mengultimatum.

Pak Zainal tersenyum melihat tingkah polah anaknya. "Insyaallah, ayah gak akan ulangi lagi, Nak. Ayo kita berangkat. Nanti kesiangan gak jadi wisudanya mau?" kata Pak Zainal dengan tenang.

FARMAKOLOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang