MERINDU

274 10 1
                                    

Nampaknya, kerinduan dalam hati Ana pagi itu tidak terbendung lagi. Ibarat arus sungai deras, kerinduan Ana saat itu sudah berubah menjadi banjir bandang yang mampu menjebol kokohnya bendungan yang dibuat dari beton terkeras sekalipun. Dia paham, dia harus mengetahui sesegera mungkin kabar dari Rendra.

Sambil menunggu kedatangan Azhar yang sudah berjanji akan mengambil sepeda motornya yang rusak tempo hari, pukul 8 pagi itu, tepat di hari Minggu Ana mencoba memberanikan diri menghubungi Rendra melalui pesan Whatsapp. Ana tahu, jam 8 pagi di Indonesia, artinya jam 8 malam waktu di Amerika. Rasa-rasanya, Rendra pasti masih terjaga pada jam-jam seperti itu.

Pesan dikirimkan, namun tanda centang masih menunjukkan simbol centang satu, sebagai tanda pesannya tertunda, belum sampai ke ponsel milik Rendra. Ana coba untuk menunggu beberapa saat. Dalam hati kecilnya, dia berpikir mungkin ponsel Rendra sedang dinonaktifkan karena sedang ada hal-hal yang lebih penting.

Tidak lama kemudian, datang suara salam dari luar rumah. Ana yakin itu suara Azhar. Bergegas Ana membuka lemari, mengambil jilbab panjang sekali pakai sebelum menemui Azhar di luar. Jari-jemari Ana cekatan meliuk-liukkan jarum pentul untuk mengeratkan celah jilbab yang melonggar di bawah dagu. Namun, sebelum Ana keluar kamar, rupanya Azhar sudah lebih dulu diterima oleh Bu Yani dan telah dipersilakan duduk di kursi teras rumah.

"Na, itu ada Azhar di luar! Ibu mau ke belakang dulu buatin minum." seru Bu Yani.

"Iya Bu, sebentar, Ana pakai jilbab dulu."

Selepas memakai jilbab, Ana bergegas keluar menemui Azhar. Kini mereka berdua duduk bertemu dalam suasana santai setelah sebelumnya bertemu dalam situasi yang menegangkan.

Saat itulah, Azhar benar-benar melihat bagaimana rupa Ana. Lelaki pekerja keras itu kemudian tidak mampu melepaskan pandangannya dari Ana yang baru saja muncul dan kini berada di hadapannya. Matanya, terus terpana dan terpaku di arah yang sama dalam waktu yang cukup lama.

"Kenapa, Mas? Kok kayak kaget gitu?" kata Ana.

Azhar terperanjat. Pandangannya tertangkap tangan oleh Ana. Dia merasa malu. Mata yang tadi terus terpana memandang lurus ke mata Ana, kini ciut mengkerut terjun bebas ke bawah meja, tidak berani dia angkat lagi.

"Oh, gak apa-apa, Mbak. Tadi aku kirain ibu yang keluar. Taunya Mbak Ana." Celoteh Azhar mencoba mengalihkan pembicaraan.

"O iya, gimana tangannya?"

"Alhamdulilah. Udah mulai kering." Jawab Azhar sambil melihat dan memutar-mutar tangannya yang masih dibungkus perban.

"Masih sakit atau terasa perih gak?" Tanya Ana kembali.

"Udah gak terlalu sakit, Mba. Alhamdulilah. Aku gak apa-apa. Cuma belum berani kena air dulu tangannya, jadi mandinya agak ribet."

"Iya, kalau bisa sih sering dicuci dan diganti perbannya ya! Jangan sampai perbannya lembab, nanti malah lama kering lukanya. Sudah diganti perbannya?"

"Belum, Mba. Tadi buru-buru ke sini."

"Loh, kok belum? Sebentar ya."

Ana bergegas masuk ke dalam rumah dan lekas kembali dengan tangan bersarung karet sambil membawa kotak P3K. Dia bermaksud mengganti perban Azhar.

"Wah, gak usah, Mbak. Aku malah jadi ngerepotin. Ini juga nggak lama kok mau ambil motor aja. Temanku sudah nunggu di depan gang. Takutnya dia kelamaan nunggu, akunya gak enak."

"Gak apa-apa, Mas Azhar. Sebentar aja ini. Kalu gak diganti nanti takut infeksi."

Azhar tidak berdaya menolak permintaan Ana. Dalam hati kecilnya, dia merasa senang berada di tempat itu dalam waktu yang agak lama.

FARMAKOLOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang