PERUSAHAAN BISKUIT

512 10 1
                                    

Setelah gagal mencoba melamar kerja di sebuah perusahaan periklanan tempo hari, Azhar tidak patah arang. Baginya, patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu. Tidak ada kata menyerah di kehidupannya. Kesempatan akan selalu hadir bagi orang-orang yang optimis dan mau melangkah.

Meskipun uang simpanan hasil dari pekerjaan sebelumnya mulai menipis, Azhar tetap bersemangat mencari kerja. Semua teman-teman dekat ia coba hubungi. Berharap salah satu temannya itu dapat menunjukkan link pekerjaan yang tersedia. Tapi semua teman yang dia hubungi tidak satu pun memberikan berita yang positif.

Belasan sudah berkas yang dia kirimkan melalui pos, melalui aplikasi online, bahkan tidak terhitung berkas-berkas lamaran yang dia simpan langsung di resepsionis suatu kantor. Tapi hasilnya nihil. Sebagian besar tidak ada kabar. Sebagian kecilnya lagi kandas di sesi wawancara. Memang, sesi wawancara adalah titik penentu yang paling subjektif. Bukan lagi hanya berdasar pada kompetensi si pelamar, tapi juga sudah masuk pada dasar suka atau tidak sukanya sang HRD kepada pelamar.

Memang, di zaman ini mencari pekerjaan bukan perkara yang mudah. Berbeda dengan zaman dulu, tiga atau empat dekade lalu misalnya. Kebanyakan kantor, perusahaan, instansi, di zaman dulu malah mencari orang-orang yang siap bekerja dengan lowongan yang seluas-luasnya. Hal itu karena di zaman dulu sulit sekali mencari orang yang memiliki latar pendidikan yang lumayan. Untuk lulusan SMA saja misalnya, di kampung-kampung, lulusan tersebut sangat sulit didapatkan. Akhirnya, ketika ada pelamar lulusan SMP atau SMA, langsung bisa dipekerjakan, bahkan langsung menjadi pegawai tetap. Apalagi, jika dulu pelamar adalah sarjana, sudah pasti akan mendapatkan tempat yang baik sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Menjadi supervisor, manajer, kepala bidang ini, kepala bidang itu. Lantaran apa? Lantaran di zaman itu sulit mencari orang-orang berpendidikan tinggi, apalagi di pedesaan dan perkampungan. Sudah lulus SD dan bisa calistung saja sudah bagus.

Berbeda halnya dengan zaman sekarang. Lulusan sarjana banyaknya bukan main. Dalam setahun, satu kampus bisa meluluskan ribuan mahasiswa. Tidak terbayangkan jika dihitung seluruh kampus di Indonesia dalam satu masa kelulusan. Berarti ada jutaan pencari kerja. Jutaan warga negara yang baru lulus itu harus segera mencari suaka untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Sedangkan, tempat bekerja dan kawasan-kawasan industri begitu terbatas. Akhirnya, banyak lulusan sarjana yang menjadi pengangguran. Jika memiliki modal, maka memilih untuk membuka usaha. Jika tidak cukup modal tapi ingin bekerja, tidak sedikit pula yang menjadi pengojek online.

Itu baru lulusan sarjana. Bagamiana pula nasib mereka yang cuma lulusan SMA, SMP, SMK? Karena tidak sedikit pula perusahaan yang tadinya mematok standar pegawai minimal SMA, mulai menaikkan gradasi pegawai menjadi minimal lulsan sarjana. Dampaknya, jutaan masyarakat pengangguran kian hari kian membludak, tidak memiliki pekerjaan. Mereka merana di negeri yang makmur, negeri yang tongkat kayu dan batu pun menjadi tanaman. Seperti ayam yang mati di lumbung padi. Miris.

Memang bertebaran di mana-mana berita lowongan, job fair, mau pun bursa kerja. Namun, lihatlah perbandingan ketersediaan lowongan dengan jumlah pelamar yang mendaftar. Malah terlihat seperti sekumpulan semut yang berebut sebutir nasi. Terlebih, jika seorang pelamar itu tidak memiliki pengalaman di suatu bidang secara mumpuni. Ketersedian link atau orang dalam menjadi kunci yang sudah dianggap wajib jika seseorang ingin masuk bekerja pada sebuah instansi atau perusahaan. Kalau sudah punya link, terlebih didukung oleh orang yang 'berpengaruh' di tempat tersebut, mencari pekerjaan bukan hal yang sulit.

Dan Azhar adalah satu dari sekumpulan semut yang berebut sebutir nasi itu. Sebagai seorang perantau dari kampung, dengan modal ijazah S1 Ilmu Komputer, sangat sulit baginya mendapatkan pekerjaan sesuai dengan bidang yang dikuasainya. Teman-temannya yang telah bekerja pun bukanlah orang yang penting di perusahaan mereka masing-masing, sehingga tidak dapat dengan mudah memasukkan Azhar ke kantor mereka saat ada lowongan. Bahkan, ketika lowongan dibuka pun, kuota pelamar sudah penuh terisi oleh kerabat-kerabat dekat para petinggi kantor yang bersangkutan. Dan untuk pejuang-pejuang tunggal di dunia ini seperti Azhar, hanya tinggal doa dan harapan saja yang dia miliki.

FARMAKOLOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang