Cklek.
Aku diam mematung, saat membuka pintu kamar mandi. Mendapati Pak Hakim yang sedang berdiri dengan cuma memakai celana hitamnya yang sangat pendek dan ketat itu.
Pak Hakim senyum sambil memegang kepalaku. "Sudah bangun, kamu...?" Ujarnya sambil menguap dan mengangkat kedua tangannya ke atas.
Aku cepat-cepat menyingkir dan memberikannya ruang agar bisa bergantian dengannya memakai kamar mandi.
"Juan ---" Pak Hakim memanggilku. Mau gak mau akupun menoleh padanya. "Kamu mau sarapan apa?"
Seharusnya dia tidak perlu menanyakan hal sepele itu, saat dirinya sudah berada di kamar mandi.
Bukankah, dia bisa menanyakannya nanti...?
"Gimana kalau bubur ayam...?" Ujarnya sambil tetap membiarkan pintu kamar mandi terbuka, dan sekarang dia sedang menyikat giginya.
Selama ini dia hidup sendirian di rumahnya. Mungkin, hal ini juga yang biasa dia lakukan. Mandi dengan pintu kamar mandi terbuka. Membiarkan tv menyala semalaman. Ditambah lagi, dia tidur dengan kondisi tubuhnya yang nyaris telanjang.
Baru selesai merapihkan kasur, Pak Hakim sudah menyusulku naik, dan sekarang dia sedang berdiri di depan lemari bajunya, dengan cuma mengenakan handuk putih yang terlilit dipinggangnya.
Kali ini dia terlalu sibuk memilih pakaiannya, hingga dia tidak menegurku. Aku pun berjalan mengendap-endap untuk turun ke bawah.
"Juan --"
"Iya, pak!" Aku kaget bukan main saat mendengarnya.
Pak Hakim mengambil sesuatu dari atas lemari pakaiannya. Lalu dia menghampiriku.
"Saya punya sepatu. Semoga cukup di kakimu."
Aku menatap perutnya yang putih dan agak sedikit berlemak itu. Seketika aku teringat kejadian semalam. Aku berkeliling mencari kosan, ditengah guyuran hujan, dengan kondisi yang masih memakai seragam sekolah lengkap dan juga --- sepatu hitam satu-satunya yang kumiliki.
"Ini sepatunya --"
"Iya, pak!" Aku lagi-lagi kaget dibuatnya.
Aku buru-buru turun ke bawah. Duduk di kursi tamu, sambil memperhatikan beberapa bingkai foto yang ada di rak kecil sebelah sofa.
"Juan..."
Aku mendongak ke atas. Melihat wali kelasku yang sudah berpakaian dengan utuh.
"Kalau mau susu ada di kulkas. Martabak semalam juga masih ada. Panaskan aja di microwave."
"Iya, pak."
Sebetulnya aku ingin membuatkan teh untuk Pak Hakim. Tapi, aku gak tahu tempat dimana dia menyimpan cangkir, gula, dan juga tehnya.
Padahal jarak kulkas dengan sofa yang sedang kududuki saat ini, cuma sekitar tiga atau empat langkah. Tapi, aku merasa sangat tidak sopan, kalau harus membuka dan melihat isinya.
"Juan ---" Pak Hakim tahu-tahu sudah berdiri di depanku. Dia sangat rapih, tampan, dan juga wangi sekali. Dia menarik tanganku. Lalu, menunjukkan semua rak, lemari, dan laci, tempat dia meletakkan semua perabotan dan bahan makanannya.
"Kamu jangan aneh, kalau tiap malam saya gak pernah makan nasi."
Aku terus memperhatikan wajahnya.
"Tapi, kalau kamu mau makan nasi -- ada di rice cooker. Telor dan daging-dagingan ada di bagian kiri. Sementara minuman dan makanan ringan, ada di kanan."
Keren pikirku dalam hati. Kulkasnya aja pintunya bisa dibuka dari sebelah kiri dan kanan. Pasti, harga kulkas ini mahal sekali.
"Sudah siang. Kita beli sarapan aja di jalan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Like Father Like Son
Teen FictionIni adalah kisah kehidupanku, yang seharusnya tidak pernah kuceritakan kepada siapapun... Ketika satu-satunya orang kumiliki, berlaku sangat tidak adil kepadaku... Hai, selamat datang di duniaku...