"Juan ---" Om Rico memegang kepalaku. "Om tahu kalau kamu masih sakit hati dengan ucapan kakek tadi."
Memang benar. Bukan cuma dihina rendahan saja. Aku bahkan juga diibaratkan seperti benalu yang cuma bisanya menumpang hidup pada orang lain.
"Om juga pernah mengalaminya. Apalagi saat itu om baru saja lulus kuliah, dan sedang merintis usaha." Om Rico lagi berusaha menghibur diriku. "Tapi saat itu --- kakek --- bapak om sendiri, yang mengacaukan semuanya. Sampai-sampai waktu itu om benar-benar bangkrut dan tidak punya apa-apa."
"Aku gak tahu om, kalau rumah itu ternyata bukan kosan."
"Benny mungkin telah membohongimu. Tapi --- dia pasti punya alasan yang tidak kamu ketahui."
"Aku takut kalau Adnan akan keberatan denganku. Om, tolong turunkan aku di halte depan aja."
"Adnan memang kelihatannya sangat dingin, cuek, dan ketus. Nanti om sendiri yang akan bicara dengannya."
"Jika dalam satu minggu, Adnan tidak bisa menerima kehadiranku, tolong izinkan aku pergi ya, om.."
Mobil Om Rico memasuki area parkir kawasan sebuah apartemen. Gedung apartemennya pun bukan hanya satu gedung. Tapi ada 5 gedung apartemen setinggi 30 lantai, yang dimana kata Om Rico bagian bawahnya merupakan pusat bisnis. Seperti mall, pertokoan, dan juga ada beberapa kantor juga.
"Apartemen om ada di gedung C. Gedung yang paling tengah itu."
Jika Adnan adalah anaknya Om Rico, itu artinya Om Rico benar-benar awet muda sekali. Karena setahuku, bapak-bapak yang sudah memiliki satu apalagi dua anak, pasti wajahnya akan berubah tua, lesu, ditambah lagi dengan postur tubuhnya yang sudah tidak setegap waktu sebelum menikah dan mempunyai anak tentunya.
"Adnan sebenarnya tidak suka tinggal di apartemen. Mangkanya kadang dia suka tidak pulang, dan lebih memilih menginap di rumah temannya."
Mendengar kalimat seperti itu, aku berdoa dalam hati, semoga aja aku tidak diminta untuk menempati kamar Adnan.
"Apa Kak Benny tahu, om?"
"Dia tidak pernah tahu. Karena om kira, dia sudah tidak menganggap om dan Adnan sebagai keluarganya lagi." Om Rico menoleh sambil mengulas senyum. "Gak tahu kalau sekarang ya. Bisa saja dia jadi tahu, karena ada kamu disini.."
Apartemen yang ditinggali Om Rico itu dijaga ketat oleh pihak keamanan berlapis. Selain itu, kalau bukan penghuni apartemen gak akan bisa masuk, karena akan dibutuhkan kartu akses khusus.
Ting...!
Begitu pintu lift terbuka, aku agak kaget melihat ada sepeda kecil beroda empat, bola basket, dua rak sepatu dan sandal, juga beberapa mainan yang masih dalam kondisi tersegel rapih.
"Maaf ya, agak berantakkan." ucap Om Rico.
Jadi, begitu turun lift itu aku langsung sampai di lorong pendek yang langsung mengarah pada pintu apartemennya.
Mungkin kalau rumah biasa, lorong pendek ini bisa dikatakan adalah teras depannya.
"Baaaa...!!! Appaap...!!"
Anak kecil itu muncul dari balik pintu dengan topeng gorila yang sangat mengerikan.
"Akak siapa, apap...?"
"Ini Kak Juan. Junior gak boleh nakal ya sama Kak Juan nanti.."
Anak itu mendekat lalu mengendusku. "Akak bau air mata. Akak habis menangis sedih ya..?"
"Junior ---" Om Pramudya muncul dengan kaos putih dan celana trainingnya. "Kita kedatangan tamu rupanya.."
"Selamat pagi, om. Maaf aku mau menumpang untuk sementara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Like Father Like Son
Teen FictionIni adalah kisah kehidupanku, yang seharusnya tidak pernah kuceritakan kepada siapapun... Ketika satu-satunya orang kumiliki, berlaku sangat tidak adil kepadaku... Hai, selamat datang di duniaku...