10

1.8K 131 8
                                    

"Kak Ben lagi apa?"

Bukan maksudku mengagetkannya. Tapi Kak Ben yang lagi menghadap ke mesin cuci, langsung gelagapan begitu aku menyapanya. Dia berbalik, namun seperti ada yang disembunyikan di belakang tubuhnya.

"Mau mandi! Iya, mau mandi! Kan kita udah janjian mau jogging di GBK..!'

"Kak Ben, itu kaos aku kan?"

Kak Benny tidak bisa mengelak lagi. Dia tertawa kikuk sambil memperlihatkan kaos yang baru saja kumasukkan ke dalam mesin cuci itu.

Kak Gery turun lalu menoyor kepala Kak Benny. "Otak mesum dasar!" ujarnya sambil berlalu ke kamar mandi.

"Biar aku cuci, kak."

"Jangan!" Kak Ben mencegahku. Dia malah mendorongku masuk kembali ke dalam kamar. "Kamu belom siap-siap?"

"Apa aku gak ikut aja ya, kak?"

"Kenapa?" Kak Benny kayak kelihatan kecewa. "Kan semalem udah aku beliin sepatu kets baru."

"Aku malu sama teman-teman kakak."

"Kenapa malu, Juan? Mereka itu udah temenan sama aku sejak dari TK."

"Tapi ---"

Setelah dipaksa, akupun tak bisa menolak ajakkan Kak Benny. Apalagi Disty dan Pak Hakim rencananya juga ikut pagi ini.

"Orang kalo suka mah tembak, terus kawinin! Jangan cuma janji-janji manis doang!" ujar Kak Gery yang duduk di bangku kemudi.

Begitu sampai di depan rumahnya Pak Hakim, Kak Tito menurunkan kaca jendelanya. Dia melambai-lambaikan tangannya pada Disty.

Kak Benny meremas sebelah pundak Kak Tito. "Mending lo cari cewek lain aja. Kan masih banyak tuh cewek yang lebih normal di luaran sana."

Kak Tito menghela. "Enggak! Pokoknya sekali cinta Disty, tetap Disty."

Karena Disty bilang kalau dia geli dengan kumisnya Kak Tito, dan gak mau punya anak berkumis, akibat turunan dari ayahnya, jadi Kak Tito pun malamnya langsung mencukur habis kumisnya itu.

Disty menghampiri mobil Kak Gery. Aku sudah senang aja, karena kupikir dia akan ikut mobil ini. Tapi ternyata dia cuma mau memberitahu kalau semalaman tadi dia habis membuat tiramisu dan sandwich.

"Pagi, Disty ---"

Disty mendelik sinis. "Udah siang tauk! Lelet banget sih jadi cowok!" Namun, sikapnya berubah saat ia melihat pada Kak Gery. "Kak Gery makin caem aja deh.."

Sepanjang perjalanan menuju Senayan, Kak Benny terus memegangi tanganku. Hal ini tentu saja malah membuatku gugup dan berkeringat.

"Si Adnan berulah lagi --" Kak Tito bicara sendiri.

"Ngapain lagi tuh anak, hah?" Sahut Kak Benny.

"Dia nolak budget dari yayasan buat acara puncak MOS besok." ujar Kak Gery. "Biasalah. Dia curiga sama dewan siswa. Katanya kita sengaja motong anggaran buat OSIS."

"Makin ngelunjak tuh anak ya!? Lama-lama gue turunin juga dia!"

Kak Tito menoleh ke belakang. "Dari awal kan gue udah bilang...,  Tapi lo-nya aja yang ngeyel..!"

"Tck. Halah!" Kak Benny tampak kesal. "Terus gimana?"

"Ya --- lo tau sendiri kan yayasan gimana?" Kak Gery melihat melalui kaca spion tengah.

Kurasakan genggaman tangan Kak Benny makin kencang. Bahkan menurutku, ini malah membuat rasa sakit dan tidak nyaman.

Jam 7.00 pagi, kami sampai di Gelora Bung Karno. Udara minggu pagi ini memang sangat cerah. Padahal semalaman ibu kota terus diguyur hujan deras.

Like Father Like SonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang