25

1K 91 2
                                    

"Om -- tante, maaf. Aku gak bisa bawa apa-apa."

"Apa-apa gimana, Juan?" Maminya Dria menyambutku dengan hangat sekali. "Bukannya tante gak menghargai pemberian kamu. Tapi, disini itu selalu ada buah setiap hari."

"Mami jangan ngomong gitu, gak enak." kata papinya Dria.

"Maksud mami itu, kalau Juan punya uang sebaiknya ditabung aja."

Aku dan Dria berdiri berdampingan di sisi meja lainnya. Secara sengaja tangan kiriku pura-pura gak sengaja menyentuh bagian penisnya.

Aku menoleh dengan wajah agak terkejut. Lewat gerakkan bibir aku mengatakan, "Kamu horny ya..?"

Wajah Dria tampak memerah. Dia pun balas dengan berbisik. "Kakak beda banget malem ini. Aku jadi ngaceng ---"

"Tante gak suka ya, kamu bawa-bawa lagi kalau dateng kesini."

Aku mengangguk sambil senyum. Mereka gak tahu aja, kalau tangan kiriku lagi meremas-remas penis anak bungsunya, di bawah sana.

"Berkat kamu, nilai-nilainya Dria jadi naik. Ditambah lagi sekarang dia makin giat belajar...!"

"Ahh mami, aku kan jadi malu.."

"Si Idam, mana mau ngajarin adeknya sendiri!? Dia itu sibuk sendiri sama teman-temannya...!"

"Kak Idam gak kelihatan, tante?"

"Dia lagi ada urusan sebentar." kata papinya.

"Kak, kita gabung ke belakang yuk!" ajak Dria.

"Jangan sungkan, Juan. Anggap aja ini di rumah sendiri."

"Iya, om. Terima kasih."

Dria menarik tanganku ke halaman belakang. Sikap kami berdua ini sama sekali gak menimbulkan kecurigaan di mata mami dan papinya Dria.

Sebab sebelumnya, mami Dria mengatakan kalau anak bungsunya itu sangat manja dan kekanakkan. Jadi, aku diminta maklum dengan sikapnya itu.

"Dria ---"

"Iya, kak?"

"Aku, mau kasih hadiah spesial --"

"Hadiah spesial, kak...?!" mata Dria membulat sempurna. "Apa, kak? Bukannya tadi kakak udah kasih aku kado...?"

Kudekatkan bibirku pada telinganya. "Aku -- mau keluarin di dalam mulut kamu.."

"Kakak...!?"

"Kenapa? Kamu gak suka..?" aku kaget dengan reaksi.

"Emangnya boleh?"

Disaat bersamaan, aku lihat Kak Idam yang sepertinya baru aja tiba, dan lagi ngobrol dengan Disty dan Iky.

Dria mendorongku ke balik jam besar di perbatasan antara ruang keluarga dan ruang makan. Dan dia mencium bibirku dengan sangat bernafsu sekali.

Ini benar-benar berjalan sesuai dengan rencanaku. Apalagi saat ini, Kak Idam melihatku dengan --- tatapan penuh emosi.

Mataku membelalak, berpura-pura tak nyaman dengan yang sedang dilakukan oleh Dria. Aku tahu pasti Kak Idam akan segera menghampiri kami, lalu menonjok adiknya ini sampai babak belur, kalau-kalau Disty gak menahannya.

Semoga saja Disty bisa melakukan semua yang sudah kami rencanakan selama di perjalanan tadi.

"Dria ---" kudorong tubuhnya pelan.

"Kak, aku ---" wajah Dria makin merah. Aku tahu pasti dia sudah terangsang sekali.

"Sabar ya, karena sekarang kamu kan harus tiup lilin dulu.."

Like Father Like SonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang