"Makan yang banyak, Ben. Om beliin sate kambing kesukaanmu."
"Makasih, om. Tapi gak perlu repot-repot juga."
Kalau tahu tamu spesial yang datang itu Kak Benny, aku lebih memilih untuk mengurung diri di kamar, dan puasa sampai besok pagi.
"Om Pram pulang kapan, om?"
Kulihat sesekali, Kak Benny makan dengan lahap sekali.
"Tergantung cepat tidak urusannya selesai."
"Apap, akak Juan daritadi belum hap...!"
"Juan ---"
Aku menoleh ke Om Rico. "Junior mau aku ambilkan apa?"
"Kenapa gak dimakan, Juan?"
"Ehh ---" aku gelagapan. "Dimakan kok, om."
"Akak jangan bohong. Itu, nasinya aja masih banyak."
Sekarang aku jadi bertambah malunya. Karena mereka bertiga malah memperhatikanku seolah-olah, aku ini adalah sebuah objek tak bernyawa.
"Akak mukanya merah, apap!"
Daripada berlama-lama, aku segera menghabiskan nasi di piringku, kemudian pamit untuk mengerjakan tugas sekolah.
Tapi sayangnya, rencanaku itu sama sekali gak berhasil. Setelah selesai makan malam, aku malah mencuci piring ditemani Kak Benny.
"Aku udah gak tinggal di rumah itu lagi."
Aku diamkan saja dia. Meskipun, wangi parfumnya itu tidak bisa mengalihkan pikiranku tentang tubuhnya saat sedang dalam kondisi telanjang.
"Kamu masih marah ya?" Kak Benny memelukku dari belakang. "Maafin aku ya..."
Aku berusaha melepaskan tangannya. Tak peduli, tanganku lagi memakai sarung tangan karet dan penuh dengan busa sabun.
"Aku udah terus terang sama kakek. Kalau perasaan seseorang itu gak bisa dipaksakan."
"Ehemm..!"
Om Rico berdehem sambil membuka kulkas. Aku tidak mau kalau Om Rico berfikiran yang macam-macam nanti.
"Om mau kelonin Junior dulu." ucap Om Rico sambil menepuk pundak Kak Benny, dengan seulas senyum di wajahnya.
Selama mencuci piring, Kak Benny sama sekali tidak mau melepaskan pelukkannya.
Bahkan ketika aku sudah selesai mencuci semua piring dan gelas, dia malah memutar tubuhku, hingga jadinya kini saling berhadap-hadapan.
"Ini bukan rumahnya Kak Benny, jadi tolong Kak Benny yang sopan."
"Ehhmm, kan lagi gak ada siapa-siapa..?"
Kudorong tubuhnya sekuat tenaga, hingga akhirnya aku bisa lepas juga dari pelukkannya.
"Kamu ---"
PLAAAKKK...!
Kutampar pipi Kak Benny sekuat tenaga, sampai meninggalkan bekas. Dia agak syok dengan apa yang kulakukan barusan.
"Sekarang sudah impas. Anggap aja itu balasan buat kakek ---"
Kak Benny tiba-tiba maju, dia pegang daguku, lalu dia tundukkan sedikit kepalanya.
Sebuah kecupan hangat mendarat di bibirku...
Tubuhku gemetar merinding. Mata kami masih saling menatap satu sama lain. Ciuman ini terasa sangat aneh. Namun lama kelamaan, ada sesuatu dalam diriku yang bergejolak.
Kudorong Kak Benny dengan perasaan kesal. Karena dia lancang sekali memegang penisku yang sudah mulai ereksi.
"Aku sudah maafin, kakak. Kalau begitu, sekarang kakak silahkan pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Like Father Like Son
Teen FictionIni adalah kisah kehidupanku, yang seharusnya tidak pernah kuceritakan kepada siapapun... Ketika satu-satunya orang kumiliki, berlaku sangat tidak adil kepadaku... Hai, selamat datang di duniaku...