Tanpa sengaja aku menyentuh kembali kotak kecil itu. Kotak kecil sederhana yang terbuat dari kardus bekas, lalu dibungkus dengan kertas biru lembut beraroma wangi yang bahkan masih tercium wanginya hingga umurku kini genap 17 tahun.
Di kotak kecil itulah, ibu meninggalkan beberapa kenangannya untukku.
Termasuk, sebuah surat yang isinya membuat hatiku sangat sedih sekaligus terluka.
-Jika ayahmu masih hidup, biarkanlah ia bahagia dengan kehidupannya.
Karena kau adalah hartaku yang paling berharga. Jika kau ingin tetap bahagia, jangan pernah sekalipun kau coba mencarinya-
Entah kenapa, aku selalu saja menangis ketika membaca kalimat terakhir pada surat terakhir yang ibu tulis untukku.
Aku masih ingat, ketika surat itu sampai kepadaku --- ternyata itulah terakhir kalinya ia mengirimiku surat.
Aku tidak tahu, karena kepergian ibu saat itu adalah untuk mempertahankan hidupnya. Dia hanya tidak ingin aku terluka, melihat dirinya yang harus berjuang seorang diri melawan kanker ganas yang telah menggerogoti seluruh tubuhnya.
Dia tahu bagaimana membuatku tersenyum dan bahagia.
Dia juga tahu, bagaimana caranya agar air mata ini tetap terjaga rapat di dalam sumur air mataku.
Seandainya saja aku sempat memeluknya untuk terakhir kalinya, mungkin akan kukatakan padanya --- bahwa ia adalah wanita terhebat sepanjang masa yang pernah ada di muka bumi ini.
Dia yang tak pernah kenal lelah, mengajariku berbicara. Meski saat itu, kata pertama yang keluar dari mulutku adalah --- pupu.
Entah apa maksud dan maknanya. Tapi yang pasti, aku masih sering sekali mengatakan Pupu, sampai usiaku menjelang 4 tahun.
"Juan --"
Aku cepat-cepat menghapus air mataku. Kumasukkan kembali foto dan surat terakhir dari ibu, ke dalam kotak itu.
"Apa semua barangmu sudah terbawa..?" tanya Kak Benny.
Aku memeriksa barang-barangku yang tak seberapa banyak. "Sudah, kak."
"Sekarang, saatnya kita beres-beres."
Kak Benny kelihatan sangat bersemangat sekali membantuku. Dia sampai tidak masuk sekolah, padahal hari ini adalah hari rapat final MOS di sekolah.
Dia bilang, kalau dia sudah diwakilkan oleh wakil dewan siswa. Dan dia tidak bisa membiarkan aku sendirian membereskan sekaligus membersihkan kamar baruku ini.
"Kamu suka gak sama warna catnya?"
"Suka, kak."
"Kalo gak suka, biar aku ganti sekalian."
Warna hitam sebenarnya warna yang sangat kelam dan kelabu. Aku sangat tidak suka dengan warna yang identik dengan kematian itu.
Tapi --- aku tidak mau menuntut banyak. Dengan seratus ribu sebulan untuk kamar ini saja, menurutku sudah sangat keterlalu murahnya.
"Kamu bohong!"
Aku mengerjap menatap wajah Kak Benny.
"Kalo kamu suka, pasti wajahmu gak akan kayak gitu."
"Berapa harga satu kaleng cat, kak?"
"Kamu mau warna apa?"
"Krem sepertinya bagus. Atau biru tua mungkin."
"Bagaimana kalo merah muda?"
"Merah ---" aku menerawang.
"Bercanda." Kak Benny tertawa renyah. "Krem aja kali ya..?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Like Father Like Son
Teen FictionIni adalah kisah kehidupanku, yang seharusnya tidak pernah kuceritakan kepada siapapun... Ketika satu-satunya orang kumiliki, berlaku sangat tidak adil kepadaku... Hai, selamat datang di duniaku...