28

1K 92 1
                                    

Tok-Tok.

Aku menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Inilah waktunya. Waktu dimana aku sama sekali gak boleh kelihatan gugup dan dibuat-dibuat di depan orang itu.

Cklek.

"Kak Idam ---" aku berusaha mengulas senyum. Namun, kulihat wajah Kak Idam yang begitu tegang dan serius menatap tubuhku yang cuma terlilit handuk aja. "Masuk, kak. Aku baru aja selesai ---"

Kak Idam tiba-tiba memelukku dan langsung melumat bibirku. Dia dorong pintu kosanku dengan kaki kanannya.

"Kak...!" Aku barusaha mendorongnya. Namun, kekuatanku tak seberapa besar dibanding dengan kekuatannya.

Aku di dorongnya ke kasur, sambil dia menarik handuk yang melilit di pinggangku. Ia menyeringai, saat mendapati penisku yang sudah mengacung keras ke atas.

Dia lepas seluruh pakaian yang melekat pada tubuhnya. Aku berguling ke sisi samping, lalu kuambil sesuatu dari laci meja kecil di sebelah kasurku.

Aku memberinya sebutir pil putih. Namun, dia malah mengambil empat butir lagi, dan langsung menelannya sekaligus.

"Kak Idam!!"

"Biar mainnya bisa lama ---" ucapnya sambil menjilati leherku.

"Kak, nanti kalau Dria dateng gimana?"

Kak Idam menatapku. "Masih ada waktu tiga jam lagi untuk kita berdua ---"

"Tunggu, kak..!"

"Apa lagi, sayang?"

"Obatnya kan baru diminum, masa reaksinya secepat itu?"

"Hmmm ---"

"Nanti, kalau keburu keluar gimana?"

"Terus gimana..? Udah ngaceng banget nih gue ---"

"Sebagai pemanasan, gimana kalau aku ---"

Kak Idam aku suruh duduk dengan bersandar pada kepala kasurku. Lalu, aku mainkan penisnya sambil sesekali menghisapnya.

"Ahhhh, enak banget sayang ---"

"Untung aku sampai duluan tadi ---"

Mata Kak Idam yang tadi menutup, sontak membuka lebar. Dia sepertinya kaget banget waktu ngeliat adiknya tiba-tiba udah berdiri di ujung kasurku, tanpa mengenakan sehelai benang di tubuhnya.

"Kalau cuma dikunciin doang di kamar, aku masih bisa kabur lewat jendela."

Kulihat wajah Kak Idam yang mulai memerah. Sepertinya emosinya mulai tersulut. Akupun bergerak ke atas. Kulumat bibirnya sambil kududuki kukalungkan kedua tanganku pada lehernya.

"Kak Juan ---"

Aku melirik ke arah Dria. Wajahnya kelihatan lesu dan murung. Masih dalam posisi saling melumat, kutarik tangan Dria untuk ikut naik ke atas kasur.

"Wait!" Kak Idam melepaskan ciumannya. "Ngapain lo ikut-ikutan..?!"

"Kak Idam ---" kupegang kedua pipinya. "Aku gak keberatan kalau kalian bisa menikmati tubuhku bersama-sama."

Dria menciumi pundak dan leherku dari belakang.

"Gak usah lama-lama!" Kak Idam nepis tangan Dria yang kini sedang memilin putingku.

Kucium lagi bibir Kak Idam yang lembut itu. Jantungku makin berdebar kencang. Semoga saja aku bisa melewati semua ini, tanpa ada kecurigaan di mata mereka berdua.

Kuarahkan tangan Dria pada puting Kak Idam. Namun, Kak Idam menepisnya dengan kasar. Kugigit bibirnya dan kumasukkan lidahku ke dalam rongga mulutnya. Kak Idam melenguh pelan. Aku rasa obatnya sudah benar-benar bekerja.

Like Father Like SonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang