"Aku kembaliin uang kamu, tapi please..." Kak Benny lagi-lagi menatapku dengan mata memohon. "Kasih aku kesempatan buat ngejelasin semuanya.."
"Uangnya?" aku bicara dengan mengumpulkan semua keberanianku. Begitu dia mengeluarkan uangnya, aku ambil semuanya, dan langsung kumasukkan ke dalam tas ranselku.
"Aku ---"
"Pertama, itu bukan kosan. Tapi rumah kakeknya Kak Benny. Kedua, kakek itu sudah menampar wajahku. Ketiga, kakek itu mengira dan menuduh bahwa akulah yang sudah ---" Kalimatku terhenti seketika. Jelas aku kaget sekali, karena Kak Benny yang tiba-tiba mencium bibirku.
"Apa salah, kalau aku memang benar mencintaimu...?"
Aku tidak bisa ngomong apa-apa lagi. Jantungku berdegup kencang. Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Meskipun ada siswa kelas lain yang lebih putih, tinggi, atletis, dan tampan dari Kak Benny -- tapi tetap saja kalau dialah yang...
"Maaf kak, tapi aku gak bisa..." aku tak percaya kalau kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku.
"Kenapa...?"
"Aku masih dua tahun ada di sekolah ini. Dan aku --- masih membutuhkan beasiswa itu."
Tok-Tok.
Aku kaget saat kaca jendela di sisiku, diketuk seseorang dari luar.
Adnan...?
Ekspresi Kak Benny langsung berubah saat melihat Adnan saat itu.
Dari luar Adnan terus berusaha membuka pintu di sisiku. Entah apa maksudnya ia melakukan hal itu...?
"Mau ngapain lo?!"
"Buka!"
Aku berhasil membuka pintu di sisiku. Belum juga aku turun, Adnan langsung menarik tanganku. Sampai-sampai, kepalaku membentur bagian atas mobil Kak Benny.
Tanpa rasa takut, Adnan mendekati Kak Benny. "Lo boleh bikin masalah sama gue, tapi lo janga pernah coba-coba buat deketin Juan lagi!"
"Apa masalah lo, hah?!" Kak Benny menarik kerah Adnan. Namun Adnan menepisnya. "Gak ada urusan sama lo!"
"Gak ada...?" Adnan senyum menyeringai. Dia menekan dada Kak Benny dengan telunjuk kanannya. "Asal lo tahu, kalo gue --- juga suka sama dia!"
Disitu aku diam mematung. Apakah yang aku dengan barusan --- benar-benar terucap keluar dari mulut Adnan...?
Adnan tiba-tiba meraih tanganku, dan membawaku ke mobilnya. Tanpa mengatakan apa-apa, dia melajukan mobilnya meninggalkan halaman sekolah.
"Ad ---"
"Gue rasa kita udah impas." Adnan menyela pembicaraanku.
Sampai aku dan dia tiba kembali di basement apartemen, kami saling tak bicara satu sama lain.
"Terima kasih." ucapku sebelum aku turun.
Namun, Adnan menahan tanganku. Dia membuka laci dashboard mobilnya, lalu mengambil hansaplast dan memasangkannya pada dahiku yang terpentok tadi.
"Gue tadi gak maksud kasar --"
"Terima kasih."
Kami berjalan bersama menuju lift. Tapi, Adnan memilih menaiki lift yang berbeda denganku. Entah, dia akan kemana dulu.
Ting-Tong.
"Akak...!! Hheehee...!" Si kecil Junior membukakan pintu untukku. Wajahnya selalu terlihat riang, apalagi siang ini kulihat dia lagi bermain-main dengan sepatu rodanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Like Father Like Son
Teen FictionIni adalah kisah kehidupanku, yang seharusnya tidak pernah kuceritakan kepada siapapun... Ketika satu-satunya orang kumiliki, berlaku sangat tidak adil kepadaku... Hai, selamat datang di duniaku...