15. Important Thing

196 49 0
                                    

"Aku senang kau kembali lagi, Alys. Beruntung Jimin menyelamatkanmu, kalau tidak—mungkin aku takkan melihat dirimu dan calon keponakanku lagi."

Itu suara Yseult, seorang nimfa yang dipekerjakan untuk mengurus Alys. Jimin bilang dia sudah bekerja menjadi pengawal pribadi Alys selama setahun lebih, lebih tepatnya semasa Alys dan Jimin menikah. Ya begitulah yang Miran dengar. Ia takkan menolak mendengar kutipan kenangan Jimin dan Alys di masa lalu, karena sebenarnya ia sendiri kini tengah menyamar sebagai Alys atau Jaehwa di masa lalu yang sedang kehilangan ingatan. Ia perlu mengetahui kisah-kisah mereka untuk mendalami aktingnya yang teramat buruk.

Namun karena Miran terbiasa berbohong, ini semua akan terasa mudah. Semoga saja.

Yseult sendiri memang sudah dianggap sebagai kakak perempuan oleh Jimin, karena setahu Miran mereka merupakan teman kecil.

"Yseult, bisa kau bantu aku menaikan seleting ini? Ini sulit dijangkau..." cercah Miran mengabaikan penuturan Yseult. Wanita itu baru saja menaruh nampan berisi makanan dan minuman, namun langsung mengoceh sebagai pembicaraan basa-basi mereka demi menghilangkan kecanggungan.

Suara seleting yang bertabrakan ketika dinaikan ke atas berbunyi nyaring, membawa keheningan serta keterjutan yang mendatang. Karena yang menaikkan seleting bukanlah Yseult, melainkan Jimin. Merasakan suasanya yang berbeda, Yseult memilih keluar dan membiarkan dua insan ini terjebak akan ruangan dan keheningan.

"Ini di luar tugas dari Yseult, kalau ingin meminta bantuan untuk menaikkan seleting kau bisa memanggilku," ucapnya dengan seduktif, dia juga sengaja mendekatkan tubuhnya, membiarkan dadanya membentur punggung Miran yang di dalam dimensi ini ia hanya tahu kalau gadis di hadapannya ini bernama Alys. Melilit pinggang Miran dengan erat sembari menatapi pantulan dirinya di hadapan cermin. Tersenyum sumringah seperti biasanya, sama sekali tanpa beban.

Miran grogi bukan main, lidahnya kelu tak bisa bergerak. Bahkan pikirannya benar-benar tak terkontrol, semuanya bertabrakan dan lari dari dalam kepala Miran. Bukan gugup tanpa alasan, melainkan ia bingung harus menjawab apa. Ia tak tahu mendalam mengenai sikap Alys seperti biasanya. Selain itu—rasanya aneh saja ketika harus berpelukan dan berakting romantis dengan Jimin yang tak lain adalah musuh bebuyutannya di saat terakhir kali mereka bertemu.

"Sedari kemarin kau terus cemberut dan merenung, kau selalu gelisah bahkan di saat tertidur. Ada apa, hm? Ceritakan padaku, kita berjanji untuk terbuka satu sama lain 'kan?" sambungnya lagi yang mungkin sadar akan Miran yang diam saja tanpa berkata apapun, bahkan sedari tadi Miran berusaha melarikan diri dari tatapan Jimin. Tentu pria itu akan merasa aneh dan terabaikan.

"Jimin, kau akan mempercayaiku 'kan?"

Sebuah kerutan tercipta di kening Jimin sebanyak tiga lapisan bersamaan dengan alis yang bertaut satu sama lain. Meninggalkan kesan yang kebingungan dari rautnya yang mudah ditebak. "Tentu, aku selalu percaya kepadamu. Kau ingin menceritakan apa, hm? Biarkan aku dan pangeran atau putri kecil kita mendengarnya..." tangan Jimin beralih mengelus perut Miran, menatap perut Miran dengan tatapan seorang Ayah yang mendalam.

"Aku bukan Alys. Aku datang dari masa depan dan terjebak lagi di masa lalumu bersama Alys. Namaku bukan Alys dan aku bukan berasal dari dimensi ini." Miran mengucapkannya dengan berapi-api, seluruh atmosfer di sekitarnya memanas. Ia bersumpah akan menangis kalau Jimin tak juga mempercayai ceritanya, Miran rasa hanya Jimin yang mampu ia percaya untuk membantunya keluar dari sini.

Namun ... sebuah keterjutan dan kerutan pada kening—membuat semua harapan Miran buyar. Tak terlepas dari ucapan ; "Apa maksudmu? Dari mana kau mendapatkan itu? Apa dari dalam mimpi? Oh ayolah, Alys ... kau masih sakit, jadi wajar kalau mimpimu menampilkan memori aneh. Jangan terlalu dipikirkan, hm?" membuat seluruh harapannya untuk lari dari dimensi ini luntur seketika. Terlebih ketika Jimin menarik dirinya untuk duduk di ujung ranjang dan ancang-ancang untuk menyuapinya makanan.

Jadi ... bagaimana caranya Miran lari dari momen langka ini?

⌗ ✰

"Wah ... kau memiliki sayap?!"

Miran memandang takjub akan panorama di hadapannya, di mana ketika Jimin melebarkan sayapnya di hadapannya sendiri. Ia bilang akan mengajak Miran terbang untuk menetralkan pikiran. Miran kira Jimin hanya berbohong dan kata 'terbang' hanya diungkapkan sebagai kata rujukan saja.

Jimin terkekeh, bahkan kekehannya masih sama seperti di masa depan. Lalu yang membuat Miran terkejut adalah surai hitamnya yang tiba-tiba berubah menjadi warna biru tua yang indah. Sungguh, Jimin bagaikan bunglon kalau seperti ini. Jimin menarik lengan Miran, membuatnya mendekat sebelum menggendong gadis itu ke dalam dekapannya. "Kita akan ke hutan kesukaanmu, untuk mencari kalung favoritmu."

Setelah itu Miran merasakan tinggi mereka yang menaik secara perlahan, dersikkan angin semakin berhembus kencang seiring menjauhnya jarak mereka dari tanah. Miran menatap ke bawah, semuanya jadi terasa kecil, dan di sisi lain terlihat sedikit menyeramkan karena ia terbang tanpa pengaman yang lengkap—hanya bermodalkan lengan Jimin saja yang mencegahnya agar tidak jatuh.

Miran sangat suka, ini sangat indah. Melihat burung yang terbang secara dekat, lalu membiarkan wajahnya diterpa semilir angin kencang yang membuat surainya berterbangan dengan serabutan. Miran merasa bebas, sejenak beban pikirannya ikut terbang bersamanya. Tak ada hal lain yang Miran pikirkan selain keindahan yang dapat ia saksikan. Sungguh, ini sungguh lengkara, selain itu ini juga momen yang sangat langka terjadi. Seperti ungkapan once in a blue moon. Ia bahkan tak percaya kalau Jimin bisa terbang dengan sayap di masa lalu.

Hingga akhirnya kaki Jimin berpijar pada dataran tanah merah lagi. Mereka ada di sekitar hutan, namun terlihat seperti taman bunga karena banyak bunga yang tumbuh di sini. Bahkan sama sekali tidak terlihat menyeramkan. Kelinci, rusa, burung-burung kian mendekati mereka, membuat Miran sedikit terkejut karena kedatangan mereka yang tak diundang.

"Tidak apa-apa, ratuku. Mereka menyayangimu sepertiku, mereka takkan menyakitimu. Sapa lah mereka, aku akan mencari benda berharga milikmu. Jangan pergi ke mana pun, okay?"

Ketika tungkai Jimin ingin berlalu pergi setelah bibirnya menyentuh kening Miran, gadis itu menahannya dengan kedua tangan yang melingkar bagaikan ular. Kepalanya menggeleng dengan retina yang menunjukkan tatapan nanar dan sendu, seperti ingin menangis dan memohon untuk tidak ditinggalkan. "M-Memangnya sepenting apa kalung itu sehingga kau ingin meninggalkanku sendirian di sini?" tanya Miran perlahan.

Jimin meraih tangan Miran, mengecupnya perlahan sebelum beralih mengelusnya. "Sangat penting. Itu kalung yang kuberikan untukmu sedari kau baru lahir. Dia merekam seluruh kejadian yang kau alami. Kau pernah menangis karena kalung itu putus. Aku kira kau memikirkan kalung itu semalaman sehingga tidurmu jadi gelisah."

Miran menggeleng kencang, "A-Aku sudah menceritakan kegelisahanku padamu, tetapi kau tidak mempercayaiku..." lirih gadis itu sembari menunduk pelan.

Miran merasakan sebuah sentuhan lembut di kepalanya, membuatnya mendongak secara otomatis dan membuat retina mereka beradu pandang. Hewan dan tumbuhan di sini lah yang menjadi saksinya, "Kalung itu akan membantuku menjagamu juga, kau tunggu di sini, okay? Bermainlah bersama mereka, aku takkan pergi jauh darimu. Berteriaklah kalau merasakan bahaya yang mendekat."

Maaf. []

tebak, siapa yang bilang maaf?

aku lupa update kemarin ㅜ.ㅜ, hope u like it sweetie <3

vote and comment to appreciate, tysm !

papai !

Once in a Blue Moon ★ PJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang