11. I'm Tired

214 45 7
                                    

"Alys, kau hidup kembali-namun kenapa kau meninggalkanku, hm?"

Miran spontan membuka matanya. Ini masih jam dua pagi, dan ia terbangun karena mimpi buruk. Bahkan Miran merasakan matanya yang sembab dan pipinya yang basah, di dalam ingatannya ia masih merekam bagaimana mimpi itu berjalan mengikuti arus. Ia mengingat semua alur dari mimpi itu, sungguh hatinya campur aduk. Ia tak mengerti kenapa ia merasa mimpi yang ia alami itu terasa nyata.

Sangat nyata.

Miran tak mengerti kenapa ada Jimin di dalam sana, namun pemeran wanitanya tak dapat Miran lihat. Ya itu wajar untuk ukuran mimpi, terkadang Miran bahkan tak mengerti alur dari mimpinya yang menaik turun tak jelas seperti roller coaster. Dan terkadang Miran juga lupa bagaimana mimpinya semalam, padahal ia baru saja tersadar dari alam bawah.

Miran baru sadar kalau sebenarnya ia tertidur di tempat orang lain. Tempat Jimin. Miran tidak ingat kenapa ia bisa tertidur di sini, yang jelas sehabis menangis ia kelelahan dan terlelap sendirian di atas sofa Jimin. Mungkin sebab itu lah Jimin mengangkatnya ke ranjang besar nan lembut ini, Miran tebak ini adalah kamar Jimin. Dari semerbak aroma, panorama, serta beberapa figur dan pajangan foto membuktikan semuanya.

Miran bergegas turun menapakkan kakinya ke atas lantai, membenarkan pakaiannya yang sedikit berantakan karena tidurnya yang gusar. Tak lupa juga ia cuci muka sebelum mengambil tas selempang yang tertanggal di atas meja—ya, dia berniat untuk pulang. Tak peduli cuaca kelabu yang menolak ataupun pukul yang menunjukkan waktu dini hari atau mungkin langit yang masih sangat gelap. Dia hanya takut ulahnya ini membuat amukan memuncak di tubuh Athena, sebab itu ia memilih pulang walaupun hatinya menolak.

Baru berjalan beberapa langkah keluar dari kamar Jimin—Miran segera membeku. Terdiam layaknya patung sembari menatap panorama yang seharusnya tak ia lihat di bawah sana. Miran jadi semakin malu pada dirinya sendiri dan Athena, merasa tertampar akan kebodohannya yang kedua karena telah mempercayai omong kosong dari Jimin.

Jimin dan Jaehwa? Mereka—berciuman.

Diamnya Miran bukan berarti cemburu, ia hanya merasa malu kepada dirinya sendiri. Tertampar berkali-kali karena telah mempercayai Jimin bahkan menyerahkan ciuman pertamanya di lelaki yang salah. Ciuman itu semakin memperjelas hubungan keduanya dan juga mimpi yang ia dapatkan, semua ucapan manis dan permohonan maaf itu ternyata palsu. Miran sungguh bodoh karena hampir memaafkan Jimin karena sewaktu ia marah—Jimin terus berada di luar gerbangnya. Memohon-mohon dan berlutut pasrah, tak perduli dengan mobil yang berlalu lalang di belakangnya—mengingat bahwa dia sangat terkenal.

Selain itu—ia sudah mendapatkan jawaban dari mimpinya. Alys, dia adalah Jaehwa.

"Aku harus turun atau tidak? Tapi aku harus pulang! Aduh, gimana ini." Miran berbincang sendiri dengan bayangannya, menggigiti kukunya sembari berpikir-pikir untuk meminta tumpangan pada ufo yang sedang melintas.

Miran kembali ke dalam kamar, merogoh ponselnya dan memesan taksi terlebih dahulu. Ia tadinya ingin memberhentikan taksi dengan cara manual. Bodoh memang. Beruntung ada taksi di daerah sini dan dia menerima pembelian Miran. Ketika sang taksi sudah dekat dengan mansion Jimin, Miran kembali keluar kamar—menjinjing stiletto heels-nya yang sangat berisik. Setelah menimbang untuk memutuskan turun dengan menggunakan lift atau tangga—Miran langsung memilih lift. Alasannya agar ia bisa cepat turun tanpa ketahuan Jimin.

Kalau menuruni tangga, Jimin pasti merasakan kehadirannya. Tapi sebenarnya percuma, mau mengendap-endap dan bersembunyi sekuat apapun—Miran akan tetap ketahuan karena Jimin dan Jaehwa berpagutan di ruangan tengah. Alhasil Miran diberhentikan oleh Jimin walaupun bekas keterkejutan meraupi wajah pria itu, sedangkan Jaehwa tersenyum puas.

"K-k-kau mau ke mana?" tanyanya dengan nada gagu, mungkin salah tingkah karena kepergok berciuman. Atau mungkin salah tingkah karena takut Miran menjauhinya lagi setelah melihat hal itu.

"Tanpa aku jawab, aku yakin kau sudah tahu jawabannya." Miran menatap seperti biasa—tatapan rekan kerja. Tak ada tatapan dingin, tajam, ataupun lembut seperti biasanya. Memilih memakai heels-nya dan berjalan menuju pintu utama. Dan gagal karena tangannya ditarik oleh Jimin.

"Awh . . . lepaskan aku!" sebisa mungkin Miran mentralkan sikapnya dan nada bicaranya. Tak ingin menunjukkan rasa kecewa dan terbodohinya. Lebih tepatnya sudah malas, anggap saja itu sebagai peringatan terakhir.

"Kita perlu berbincang. Ayo naik ke kamarku."

"Kau bisa mengatakannya di sini. Untuk apa naik ke atas?"

Jimin hendak menyeret lengan Miran dengan lembut, namun tidak bisa karena yang ditarik enggan bergerak. "Ini privasi, menyangkut kita berdua."

"Hentikan! Kalau kau memang masih mencintainya kau bisa katakan secara terang-terangan. Tidak perlu menjadikanku pelarian! Jaehwa terobsesi denganmu atas dasar cinta, sedangkan kau terobsesi denganku atas dasar gelar! Kau tidak ingin terlihat menjadi pria yang menyedihkan di hadapan masa lalumu 'kan, Jim?" ucapan yang Miran berikan berubah menjadi sapuan angin badai dalam sekejap. Ia tahu pasti Miran marah karena ia mencium Jaehwa—tapi semua itu ada alasannya.

"Itu tidak seperti yang kau duga, Miran-ah... dengarkan aku, aku ti—"

Ucapan Jimin terpotong karena dering ponsel Miran berteriak-teriak di tangan kirinya. Layarnya menyala, sontak semuanya menoleh ke arah benda panjang itu. Membaca nama kontak yang tertera di dalam sana. Jimin sontak menajamkan tatapannya kendati membaca nama kontak itu—i have crush for this guy. Sebenarnya—itu adalah sopir taksi yang Miran pesan, Miran tahu kejadian ini akan terjadi, makanya dia menamai kontak sang sopir menjadi seperti itu. Ia juga sengaja berjalan turun dari lantai atas padahal sang sopir sudah sangat dekat dengan tempat yang dituju, alasannya agar sopir bisa menelepon dirinya dan membebaskan Miran dari jeratan tak jelas ini.

"Jelaskan apa semua ini, Kwon Miran." Jimin sudah menekankan kata-katanya pertanda bahwa dia serius dengan perkataannya. Tatapan tajamnya seolah-olah menjadi benda tajam yang siap menyerang Miran kapan saja, beruntung Jaehwa tidak kepo dan memilih merasa berbangga hati sendiri melihat pertengkaran dua orang yang berjarak 3 meter di depan sana.

Miran ikutan melayangkan tatapan tajamnya, memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas sebelum menepis tangan Jimin sembari berucap, "Bukan urusanmu, urus saja kekasihmu dan juga hubunganmu. Jangan libatkan aku lagi sebagai pelampiasanmu." Miran segera berlari dari sana detik itu juga, menghindar dari tarikan Jimin dan segala hal yang menghadang jalannya sekalipun Jimin yang berlarian mengejarnya.

Jimin tak bisa berbuat apapun lagi, dia hanya bisa menatap kepergian Miran dengan taksi itu. Rintikan hujan perlahan turun berlomba dengan rintikan air mata yang Jimin titikkan.

"Aku lelah menunggumu, Miran." []

Once in a Blue Moon ★ PJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang