23. I Still Love You

240 42 2
                                    

Miran pov

Mungkin ini terhitung dua minggu Jimin dan aku berbaikan, ya, aku memutuskan berbaikan saja padanya. Sebenarnya banyak yang aku pikirkan di dalam sini, perihal bagaimana aku hidup menyamar dan memakai identitas Alys—istri Jimin di masa lalu—serta rumah tangga mereka. Aku tak mungkin terus-terusan menghindari Jimin, ini rumah tangga Alys, aku tak bisa merusaknya, atau dia akan marah.

Aku mencoba berdamai dengan Jimin dan menata kembali semuanya dari awal, Jimin semakin periang semakin ke sini. Ia sangat antusias dalam berbagai hal, aku tidak tahu ada apa—namun beberapa hari terakhir wajahnya terlihat murung. Tak tahu apa yang mengganggunya, namun ia selalu menghindari pertanyaan khawatirku. Ia selalu mengelak dan mengatakan kebohongan putih belaka.

"Alys ... kemari lah, ini Eirin, dia pemandu ibu hamil terbaik yang aku temukan. Kau akan diajari olehnya berbagai macam hal, kau juga akan dituntun untuk memainkan permainan penghilang stres, dan kau juga akan diajari olahraga juga."

Jimin memanggilku, tadinya aku sedang bermain air di dekat kolam—namun terpaksa harus bangkit sementara untuk memberi salam kepada seorang wanita bersurai coklat kemerahan tersebut.

Tapi—ini tumben sekali, tak biasanya Jimin mengundang seseorang selain Vespera. Karena setahuku hanya Yseult dan Vespera yang dibolehkan ke mari. Selain itu ia sangat selektif. Ini juga sangat mendadak, kami tak berdiskusi perihal ini semalam ataupun kemarin-kemarinnya lagi. Terlebih ini sudah sangat senja, mungkin mentari akan terbenam sebentar lagi—tetapi kenapa Jimin malah mendatangkan seseorang ke mari?

Kenapa dia tak mengatakannya padaku?

Biasanya dia sedikit protektif ketika senja tiba—mengingat banyaknya gangguan yang datang. Dia juga terbiasa membiarkanku beristirahat di jam-jam seperti ini. Sekalipun ada tamu—ia takkan pernah membiarkannya masuk dan mengganggu waktuku untuk beristirahat.

"Baiklah Eirin, tolong tunggu di ruang tamu—aku perlu menghabiskan waktu berdua bersama istriku," tutur Jimin dengan nada candaan sembari tertawa.

Eirin ikut tertawa kecil, "Ya, ya, silahkan saja. Aku akan berbincang dengan Yseult saja." Setelah itu wanita itu melenggang pergi ke dalam kastil—menyisakan aku, Jimin, dan juga keheningan.

Sejujurnya perasaanku tidak enak.

Jantungku berdebar kencang sedari tadi—bukan—bukan karena ketampanan Jimin ataupun apa itu, ini terasa mengganjal. Sangat membuatku resah.

Jimin tersenyum sembari melangkah mendekatiku yang tengah berdiri sembari berkutat dengan pikiranku sendiri. Tiba-tiba saja lengannya sudah melilit sempurna di pinggangku, membuat jarak di antara kami terkikis. Aku spontan memegangi bahunya karena sentakan kecil yang ia buat.

"Jimin ... tolong berikan aku pelukan..."

Entah mengapa aku sangat menginginkan itu, sangat ingin dipeluk setiap berada di dekat Jimin. Namun untuk kali ini, perasaan yang kurasakan sangat berbeda. Aku memintanya memelukku karena takut ia akam pergi, rasanya seperti itu. Bahkan jantungku masih tak tenang bahkan ketika aku sudah masuk ke dalam dekapannya.

Jimin terkekeh, menaruh bibirnya di puncak kepalaku sembari memelukku erat. "Haruskah kita memeluk sambil duduk? Apa kau lelah?" tanyanya dengan lembut.

Aku menggeleng, kepalaku mulai masuk ke dalam perpotongan lehernya—mencari-cari kehangatan di dalam sana. Sejujurnya menghirup aroma tubuh Jimin sudah membuat kehangatan tersendiri untuk Miran, rasanya tenang, damai dan sangat menenangkan. Namun tanpa aba-aba—kini aku menangis. Entah kenapa, tiba-tiba saja air mata itu mengalir tanpa henti diiringi dengan isakan kecil. Padahal jujur aku baik-baik saja saat pagi tadi, aku dan Jimin tak bertengkar juga setelah kejadian itu.

Once in a Blue Moon ★ PJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang