22. Stay Right Here

188 46 2
                                    

Miran tak tahu ia akan pergi ke mana, namun yang pasti ia telah meninggalkan pulau Jimin walaupun dengan susah payah. Kepalanya pening, pandangannya mengabur, kakinya teramat lemas. Ia benar-benar lelah, namun ia bingung harus berbuat apa. Ia seharusnya mencari tempat tinggal—sebab hari mulai senja, tak baik kalau malam nanti ia masih berkeliaran di hutan lebat. Setidaknya ia harus menemukan pedesaan.

"Aaah aku ingin pulang!" Miran berjongkok—menekuk lututnya—menyembunyikan wajahnya sembari menangis. Hatinya lama kelamaan semakin lelah.

Namun dengan cepat ia kembali bangkit dan menghapus air matanya, ia tak lagi membawa kopernya sebab tak kuat untuk sekedar menariknya saja. Entah di mana ia meninggalkannya—ia hanya membawa sekantung koin emas pemberian Yavanna yang mungkin bisa menjadi penyangga kehidupannya serta calon bayinya hingga tiga sampai lima tahun ke depan.

Tanpa babibu, Miran mendongak ke atas, "Athena! Kutuk aku jadi semut saja! Aku letih menjadi manusia!"

Namun tak ada yang terjadi, mau tak mau Miran harus kembali melanjutkan langkahnya.

Kakinya terseret-seret di tanah ketika berjalan, hingga berakhirlah tubuhnya yang tercebur ke dalam sungai. Entah sungai apa, namun ia benar-benar lemas—tak memiliki tenaga sama sekali. Ia bahkan membiarkan nasibnya begitu saja, tak memikirkan bagaimana lagi ke depannya. Meskipun ia akan berakhir dengan kematian karena kehabisan napas atau mungkin dimangsa buaya pun ia tak peduli lagi. Ia malah berharap hal itu terjadi. Seputus asa itu ia saat ini.

Miran benar-benar letih, ia bahkan membiarkan matanya memejam, menghitung detik-detik kematiannya dengan cara yang damai—hingga akhirnya lama-kelamaan kesadarannya mulai memudar, entah itu karena mengantuk—atau mungkin memang sudah saatnya.

⌗ ✰

Kelopak matanya mulai terbuka, menyambut pupil biru yang terlihat masih menyesuaikan keadaannya. Menatap atap-atap megah dan elegan—seperti atap yang sering ia lihat beberapa belakangan terakhir. Spontan matanya melebar, baru saja ia ingin bangun dari ranjang empuk ini—namun sebuah tangan yang melingkar di pinggangnya menahannya. Tanpa melihat siapa dia—Miran sudah tahu siapa pelakunya.

Dari harumnya saja sudah tercium kalau itu Jimin.

Miran malah membeku di tempat—dia terjebak.

"Maafkan aku, semestaku..."

Dada Miran sesak seketika, bahkan mendengar napas Jimin saja sudah membuat dadanya sangat sakit—bagaimana ketika mendengar ucapannya yang seperti ini?

Miran semakin terjebak dan membeku, memilih memunggungi Jimin—menghindarinya karena masih merasa sakit. Ia masih letih, masih malas untuk berdebat. Ia belum siap mendengar hal-hal yang menyakitkan lagi.

"Aku minta maaf... maafkan aku... aku bodoh, aku menyakitimu lagi. Tak seharusnya aku meninggalkanmu waktu itu..." nada Jimin terdengar sedih dan menyesal, dia semakin merapatkan tubuhnya dengan tubuh Miran menancapkan bibirnya untuk mengecup seluruh permukaan kulit Miran.

Itu sungguh menyiksa.

"Maafkan aku... kumohon jangan pergi... jangan tinggalkan aku, aku bisa gila kalau kau pergi... jangan pergi lagi, jangan..."

Miran tak sanggup menahan tangisannya lagi, isakannya keluar begitu saja bersamaan dengan air mata yang berlinang—berlomba dengan hujan deras di luar sana. Ia lelah menangis, namun air matanya tak mau berhenti mengalir. Isakannya pun tak kunjung mereda.

Once in a Blue Moon ★ PJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang