19. Different

166 44 1
                                    

Semerbak bau aromaterapi dengan rempah-rempah lainnya menyergap penciuman Miran. Membuat Miran terusik dalam tidurnya sehingga kelopak matanya mekar. Panorama pertama yang ia lihat hanyalah sosok Jimin seorang, sedang menyugihkan batok kelapa dengan isian cairan eukaliptus. Miran tidak tahu apa yang telah terjadi ketika ia pingsan tak sadarkan diri. Pasalnya raut wajah Jimin menunjukkan kekecewaan dan juga kesedihan. Hal yang terakhir ia ingat adalah bagaimana perutnya dicengkram sosok wanita tua.

Ah ya, bayiku!

"Jimin ... bayinya bagaimana?" tanya Miran sembari meraba-raba perutnya. Seingatnya ada cairan merah yang merambat turun ke bawah hingga membasahi pakaiannya dan juga aspal.

Jimin tidak menjawab. Dia memilih menaruh batok kelapa itu sebelum beranjak bangun dari ranjang dengan raut kecewa. Miran bisa merasakannya, itu bahkan menusuk hatinya. Jimin bahkan mengabaikannya, memilih berjalan keluar kamar dan digantikan oleh Vespera yang masuk dengan membawa mangkuk berisi ramuan.

"Bayinya baik-baik saja, Alys. Dia sangat kuat, namun sayang sekali kau kehilangan banyak darah," tutur Vespera sembari memindahkan ramuan itu ke gelas emas agar Miran mudah untuk meminumnya. "Silahkan diminum, ini akan membuatmu pulih dengan cepat." Vespera menyerahkan gelas itu, menunggu Miran menghabiskannya sebelum dia izin untuk pergi.

Miran kira setelah kepergian Vespera, Jimin akan datang setidaknya untuk menemui Miran dan menanyakan bagaimana keadaannya saat ini. Alih-alih Jimin, Yseult lah yang datang sembari membawa nampan berisikan makanan dan menaruhnya di atas meja. Wanita itu tersenyum simpul sembari duduk di sisi ranjang.

"Kemarikan tanganmu," ucapnya dengan senyuman untuk basa-basi. Miran menurutinya, mengulurkan tangan kirinya dan membiarkan Yseult mengikatkan pita merah di pergelangan tangannya. "Apa itu, Yseult?"

"Ah .. ini pita merah dari Jimin untuk mencegah Dziwozona mendekat."

"Dzi- Dzi- Dzi- apa?" tanya Miran yang kesulitan mengucapkan sepatah kata itu.

Selain itu ia merasa kalau Jimin semakin menjauhinya, kalau memang pita merah itu dari Jimin—kenapa dia tak memasangkannya sendiri? Kenapa harus menyuruh Yseult sebagai perantaranya?

"Julukannya Mamuna. Dia suka menculik bayi dan menukarnya dengan bayinya sendiri. Umumnya bayi Mamuna akan tumbuh dengan cacat. Tapi aneh, biasanya Mamuna sangat profesional dalam menculik bayi—maksudku tidak terang-terangan ketika sang orang tua ada di dekat anaknya. Terlebih lagi bayinya belum lahir, aku curiga dia Mamuna suruhan."

Miran mengangguk-angguk mengerti.

"Apa di sekitar sana ada rawa-rawa?" tanya Yseult lagi. "Tidak ada. Hanya ada daratan saja."

Yseult menghela napasnya setelah berhasil memasangkan pita merah itu, "Sepertinya benar dugaan Jimin. Itu Mamuna suruhan. Biasanya Mamuna hinggap di rawa."

Miran mengangguk-angguk lagi, celingukan ke ambang pintu menunggu datangnya seseorang.

"Kau mencari Jimin? Dia sedang mencari siapa dalang di balik semua ini. Jimin bilang kau perlu makan, lalu setelah itu kau tidur saja. Jangan menunggunya, dia bilang akan pulang saat dini hari."

⌗ ✰

Miran rasa ini masih dini hari, udara terasa sangat sejuk bahkan sangat menusuk ketika pakaiannya sudah berlapis-lapis dengan tambahan selimut tebal. Ia membuka matanya karena tidurnya tidak nyenyak juga, merasa aneh karena ranjangnya kurang hangat—mungkin dikarenakan tak ada Jimin di sampingnya. Miran yakin bayinya merindukan Jimin, makanya dia bisa merasakan perasaan rindu dan kehilangan seperti ini.

Netranya tertuju pada balkon.

pantas saja dingin, pintunya terbuka...

...dengan bonus pria yang berdiri di sana.

Miran sangat yakin kalau itu adalah Jimin. Melalui punggungnya saja sudah sangat jelas. Namun apa yang membuat Jimin terdiam di sana dan merenung sendirian?

Miran ingin beranjak dan memeluknya dari belakang—entah kenapa ia sangat menginginkan hal itu. Menyusupkan tangannya ke pinggang Jimin dan menidurkan kepalanya di punggung Jimin. Membayangkan kehangatan tak terhingga yang akan ia rasakan kalau melakukan hal itu. Namun tiba-tiba saja Jimin berbalik seolah-olah sadar dengan Miran yang terbangun. Dia hanya menatap sekilas sebelum mengalihkan tatapannya ke arah lain. Menutup pintu balkonnya, mungkin sadar kalau Miran kedinginan karena hal itu?

Astaga Kwon Miran, kau pede sekali.

"Jim ... kau tidak tidur?" Miran mencoba membuat percakapan diantara mereka, rasanya aneh ketika Jimin jadi pendiam seperti ini. Biasanya sangat bawel dan cerewet meskipun hanya berisikan godaan saja.

Jimin tak menjawab. Melainkan membiarkan kontak mata diantara mereka terbuat satu sama lain. Terdiam sembari melayangkan tatapan tajam bercampur sendu—atau mungkin kecewa?

"Jim, kau kenapa? Kenapa kau berbeda?" tanya Miran langsung pada intinya. Sudah tak bisa lagi menahan gejolak di dalam hatinya. Penasaran, sakit, dan gelisah semuanya bercampur aduk.

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu."

Miran tersentak bukan main. Nada bicaranya sangat dingin sedingin buliran salju. Tatapan benar-benar tajam dan kecewa.

"Apa maksudmu, Jim?"

"Aku sudah cukup bersabar dengan semua kecurigaanmu, Alys. Tapi tidak kusangka kau benar-benar percaya dengan Yavanna dan malah melarikan diri dari hidupku. Apa cintaku kurang besar untuk membangun kepercayaan diantara kita?"

Miran meneguk ludahnya samar, "Y-Yavanna Ibu asuhku sendiri, Jim. Mana mungkin dia berbohong... aku memerlukan waktu untuk mempercayai salah satu dari kalian."

"Jadi kau mengira aku yang berbohong, begitu?" sentak Jimin lagi. Nadanya benar-benar tajam hingga menusuk hati Miran.

"T-t-tidak. Sudah kukatakan aku memerlukan waktu untuk mem—"

Jimin mendesah sarkas sembari tertawa lirih, "Aku benar-benar kecewa padamu, Alys. Bagaimana bisa kau meragukan cintaku? Kau mengira semua kata cinta dan kasih sayang yang kuberikan itu palsu. Saat aku menemukanmu di hutan kala itu, aku membiarkan masalah ini berlalu. Aku kira kita bisa berdamai di situ dan menganggap hanya salah faham. Namun nyatanya kau malah berlari meninggalkanku. Kalau cintaku ini hanya main-main, untuk apa aku membuang waktuku untuk menghajar mereka? Untuk apa aku membuang kekuatanku untuk melawan mereka?" Dia menghapus sebercak air mata yang akan keluar dari matanya.

Miran lantas melempar selimutnya asal, beringsut menghampiri Jimin, namun tertahan karena ucapan selanjutnya.

"Kau ingin pergi dariku 'kan? Sana, kau bisa pergi. Tunggu apa lagi? Kesempatan ini tak datang dua kali. Kemasi barang-barangmu dan pergilah dari hidupku."

Rasanya seperti dihantam petir. Miran bahkan tidak sanggup berkata apapun lagi. Lidahnya kelu, dadanya sesak bagaikan dunianya runtuh dalam sekejap. Jimin tak berkata apapun, memilih berbalik sehingga pintu balkon terbuka lagi sebelum dirinya beranjak dan terbang menembus awan biru yang bertabur bintang.

Miran tidak bisa mendeskripsikan hatinya, perasaannya. Sangat sulit. Bahkan pikirannya kacau. Ada yang hancur di dalam dirinya. Miran bahkan membiarkan air matanya terjun dengan deras berlomba dengan hujan yang perlahan turun merintik membasahi bumi. Miran tak bisa menyangkal apapun di sana, Jimin benar, pantas kalau Jimin kecewa. Miran meragukannya, tentu itu membuatnya patah hati. Semua yang Jimin katakan itu benar, Miran tidak mempercayainya dan malah melarikan diri.

Ketika petir menyambar, pertahanannya runtuh dalam sekejap. Tangisannya mengalir deras dengan isakan yang membuntuti. Kakinya lemas seolah-olah ia tak memiliki raga lagi. Ia hanya bisa terduduk lesu di atas lantai sembari menangis bersama isakannya.

selain itu ...

Dadanya nyeri bukan main, seperti ditusuk tombak Athena. Jiwanya seperti sedang dicabut dari raganya. Benar-benar sakit.

J-jangan bilang, aku ... []



bau-bau mulai adanya konflik nih

Once in a Blue Moon ★ PJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang