28. The Ending of Sorrow

306 43 17
                                    

Selang tiga bulan berlalu, kondisi Jimin kian membaik dan sudah mulai menjalani harinya dengan normal semenjak beberapa waktu terakhir. Ia lebih menyibukkan dirinya dari sebelum-sebelumnya, ia bahkan membuat Jaewoo terasa tidak seperti sedang bekerja walaupun berada di kantor.

"Jiwon, kau ingin kalung atau gelang?" tanya Jimin pada wanita di sebelahnya. Tengah sibuk mencari perhiasan yang ia mau sembari memainkan bibirnya dengan jemari—bingung akan memilih yang mana.

"Tunggu sebentar, aku benar-benar bingung. Tolong pilihkan salah satu untukku," balas sang wanita dengan nada manja bercampur kesalnya.

Jimin menanggapinya dengan sebuah kekehan pelan dan senyuman manis. Tangannya beralih menggantung di bahu wanita itu.

Di sisi lain semerbak aroma vanilla manis dan tidak menghantarkan gejolak mabuk melanda ke seluruh toko perhiasan. Dentuman langkah kaki yang candu bagaikan melodi untuk menari melantun tenang sampai akhirnya muncul seonggok gadis dengan dress sebetis dengan motif belang hitam dan krem serta sentuhan luar bermodalkan jaket hijau tua yang terlihat elegan dan kekinian. Kakinya yang terbalutkan peep-toe-heels berwarna hitam. Rambut hitamnya terurai indah tanpa pernak-pernik apapun lagi.

"Oh Astaga, itu Kwon Miran! Setelah sekian lama, akhirnya dia kembali ke publik?!"

Bisik-bisik lemparan argumen sampai beresonansi ke telinga Jimin, membuat syaraf-syaraf ditubuhnya berhenti bekerja seketika—tadinya ia ingin berputar dan langsung melihat sendiri dengan mata kepalanya langsung, namun sesuatu menahannya. Gejolak aneh menahannya, membuatnya hanya mendongak dan melihat ke arah cermin besar di hadapan mereka.

deg.

Adrenalinnya langsung mengalir dan bekerja dalam sekejap, jantung Jimin berpacu dengan sangat cepat. Rautnya menjadi misterius seketika—berbanding terbalik dengan gadis di belakang sana—tersenyum manis sebagai sambutan hangatnya, senyuman lugu dan polosnya. Senyuman yang seharusnya Jimin rindukan.

Seharusnya.

Jelas-jelas mereka bertatapan melalui pancaran cermin, namun tak ada seorangpun yang menyadari hal itu.

Miran melangkah ke samping Jimin, namun tak ada lagi langkah angkuh layaknya Miran yang dahulu. Hanya ada langkah elegan dan biasa. Lalu ia melihat-lihat anting yang terjejer rapih di bawah lindungan meja kaca itu. Sebenarnya Miran ke mari bukan untuk berbelanja, melainkan bertemu Jimin dan mengatakan semua hal yang pastinya membuat tanda tanya di atas kepala Jimin.

Namun belum sempat ia melontarkan kata untuk membuat pertemuan—Jimin telah lebih dulu berbalik badan, "Ayo sayang, kita cari perhiasan di toko lain terlebih dahulu. Aku kurang menyukai motif di toko ini."

Miran mendengar itu dari bibir Jimin sendiri, sayangnya rujukan kata 'sayang' itu tidak diperuntukan untuknya. Melainkan wanita di sebelahnya, bersurai hitam dengan bentuk ikatan ponytail.

Itu berhasil membuat hati Miran serasa disambar petir. Namun Miran perlu profesional, ia ingat—saat menulis surat, ia menyuruh Jimin melupakannya dan hidup bahagia dengan wanita lain, bahkan Miran sendiri yang menyuruh Jimin mencari wanita lain untuk melupakannya. Dan kini semua itu terwujud. Miran tak seharusnya marah ataupun bersedih, ia sadar itu. Semuanya telah berubah, dan mungkin....

Ia dan Jimin memang tak ditakdirkan untuk. bersama.

Jimin kini bahagia dengan wanita lain, dan Miran tak ingin merenggutnya. Jadi tak ada lagi alasan untuk mengejar Jimin dan mengajaknya berbicara empat mata. Miran buru-buru menunjuk sebuah anting sederhana namun tetap terlihat mewah di ujung kanan sebelum air matanya mengalir. Lalu ketika antingnya telah mendarat di tangannya—Miran baru bisa meneteskan air matanya.

Once in a Blue Moon ★ PJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang