"Kwon Miran, tidak, berita itu tidak benar!"
"Beritanya mungkin bisa berbohong, tetapi tidak dengan mataku. Aku melihatnya sendiri kemarin. Sudah, jangan ganggu kehidupanku lagi. Ayo hidup damai dengan jalan masing-masing!"
Miran menutup sambungannya secara sepihak. Ini sudah pagi hari dan sudah berganti hari, dan Jimin baru meneleponnya sekarang? Mengatakan kata bualan dan menuduh berita itu tak benar padahal Miran melihat sendiri dengan mata kepalanya. Semuanya sudah terlambat, beritanya sudah menyebar—hanya menunggu konfirmasi Jimin saja. Beruntung pesta semalam mampu membuat harinya terasa jauh menyenangkan. Kalau tidak—mungkin kepala Miran akan pecah sekarang juga.
Tiba-tiba saja Aria lewat di hadapannya, menaruh nampan kayu berisi segelas air ajaib yang mampu menghapus ingatan Miran.
Tidak. Miran hanya bercanda.
Itu cairan yang mampu membuat pikirannya jernih setelah diambang air alkohol selama semalaman. Miran juga ingat kalau dirinya sampai muntah karena kebanyakan minum. Percaya atau tidak—itu hanya tindakan untuk menetralkan pikirannya. Membiarkan pikirannya melayang, mengusir beban berat dan kembali dengan pikiran jernih di pagi hari.
"Park Jimin sudah terlanjur hanyut ke dalam cintamu, tak mungkin dia mengkhianatimu. Dia budak cinta nomor satu milikmu," tutur Aria setelah berhasil melipat tangannya di depan dada, menarik napas untuk beberapa saat sebelum memulai pembicaraan mereka.
Miran merotasikan kedua maniknya diiringi helaan napas kesal. Aria harusnya ada di pihaknya, tetapi kenapa dia malah membela Jimin? Dan lagi-lagi, padahal ini masih pagi—Miran bisa mengawali pagi hari dengan kegiatan yang lebih menarik dan bagus ketimbang membicarakan berita yang beredar sekaligus meresahkan itu.
Aria terkekeh pelan, seperti memaklumi kelakuan adiknya. "Baiklah, terserah apa katamu. Cepat turun ke bawah, Jimin sudah menunggumu," tuturnya cepat sembari bergulir pergi, tak ingin mendengar umpatan atau tolakkan dari Miran lagi.
"Kau curang! ... bilang saja kalau aku tak ingin bertemu dengannya. Apa susahnya sih membantuku sekali ini saja?!" Miran mencibir kencang, menghentakkan kakinya sekaligus menggembungkan pipinya layaknya ikan di dalam perairan. Wanita yang sudah berada di ambang pintu itu mengulas sebuah senyuman simpul, "Kau perlu bicara dengannya, selesaikan ini dengan baik. Jangan gunakan emosi ataupun ego-mu. Sudah sana, aku kasihan melihat Jimin memohon pada satpam di luar sana," timpal Aria sebelum menutup pintu kayu berwarna coklat itu.
Miran menghela napasnya, perkataan Aria memang mengetuk pintu hatinya dengan tepat. Tiba-tiba saja sebuah dentingan notifikasi melambung tinggi ke udara, memaksa Miran mengambil ponselnya dulu dan melihat siapa yang mengiriminya pesan.
Jaehwa
Nikmati saat-saat terakhirmu bersama kekasihku, Kwon Miran~
Karena setelah ini ... Jimin akan menjadi satu-satunya milikku! kkk
⌗ ✰
Asap kopi beserta deru napas dua makhluk ini saling bertautan satu sama lain. Kue nastar yang seharusnya menjadi hidangan pendingin pembicaraan—malah menjadi saksi panasnya perseteruan dua insan Tuhan ini. Yang satunya menatap tajam, sedangkan yang satunya menatap lesu. Lelah namun berkeyakinan kuat untuk meyakinkan gadis di hadapannya. Suasana sangat hening sejak lima belas menit terakhir karena Aria si penengah mereka tengah pergi ke luar demi membiarkan dua insan ini saling mengobrol dan menyelesaikan masalah mereka.
"Kapan kau akan berbicara padaku lagi?" akhirnya, Jimin menyumbangkan suaranya.
"Kau tahu sedari dulu aku tidak pernah membuka suara duluan kalau bukan menyangkut hal penting." Miran melipat kedua tangannya beserta sang kaki, membuang pandangannya ke arah dapur ketimbang berseteru pandangan dengan retina hazel milik Jimin. Jimin memiliki banyak pesona yang sulit ditebak, namun Miran berani jamin kalau bibir dan matanya adalah pelet manjur yang mampu menghipnotis siapapun.
Jimin terkekeh pelan, menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jemari. "Bukankah aku penting di kehidupanmu?"
"Katakan apa maksud dan tujuan jelasmu datang ke sini, aku tidak memiliki banyak waktu!"
Jimin tersenyum tipis, senang melihat Miran yang menoleh dan menatapnya. Ia beranjak dan beringsut mendekati Miran, duduk di sampingnya walaupun gadis itu memberikan jarak 1 meter diantara mereka. "Kedatanganku ke mari adalah ... untuk mengatakan kepadamu kalau berita itu tidak benar, aku dan Jaehwa tak memiliki hubungan apapun selain masa lalu saja," ucapnya sembari menaikan kedua bahunya, meyakinkannya juga melalui pergerakan alami tubuhnya.
"Kau pikir itu editan, Jim? Aku melihatnya sendiri, kau dengan Jaehwa di sebuah toko hamburger dan chicken!" pekik Miran, melayangkan tatapan tajam dan tak menyangka. Meyakinkan Jimin kalau ia sudah lihat semuanya dan tak perlu mengelak lagi.
"Aku tak mengatakan bahwa keberadaanku di sana itu palsu, aku memang berada di sana. Tapi bukan berarti aku kembali merajut kisah bersamanya, dan persoalan ciumanku dan Jaehwa—tolong abaikan saja, kau—"
"Ah ya, lupa. Terima kasih telah mengingatkanku persoalan ciuman itu, itu menjadi bukti kalau kau memang memiliki hubungan lagi dengannya. Ok, terima kasih atas waktunya ... waktunya mengucapkan selamat tinggal. Kau tahu ada di mana pintunya 'kan?" Miran beranjak sarkas, menunjuk pintu selagi kakinya berjalan cepat menaiki tangga. Mengikis jarak lebih jauh dengan Jimin sebelum pria itu mengambil tindakan sarkas seperti mengejarnya.
Beruntung Miran sudah berhasil masuk ke dalam kamarnya, membuat mereka tersisihkan diantara pintu kayu yang menjulang tinggi.
"Yak! Kwon Miran! ... kau tahu kenapa hubungan harus dilandasi kepercayaan? Karena nantinya akan terjadi seperti ini. Kau tidak bisa mempercayaiku atau—"
Miran tertawa kencang di dalam sana, "Kepercayaan? Hubungan? Ck!" lagi-lagi dia terkekeh sembari menepuk tangannya. "Kau perlu ingat kita tak pernah menjalin hubungan apapun di luar rekan kerja, aku cukup mempercayaimu sebagai rekan kerja yang baik. Persoalan berita kencanmu—kurasa aku sudah di luar garis batas, kau tidak perlu memberikanku penjelasan dan aku tak perlu menganggap itu benar atau tidak. Topik ini sudah di luar hal yang kita butuhkan, jadi silahkan pulang. Terima kasih telah bertamu..."
Tak ada jawaban, mungkin Jimin memang masih di luar sana—tetapi masing-masing dari mereka saling terdiam satu sama lain. Hingga akhirnya Miran memutuskan berbalik badan, menemukan sebuah buku kuno dan mulai usang. Sampulnya terbuat dari pelepah kayu dengan kertas yang sudah mulai menguning, keras dan juga merekat satu sama lain. Miran membacanya karena penasaran, namun ketika dirinya ingin menggeser ke halaman pertama—sebuah ketukan pintu sarkas mengagetinya.
"Kwon Miran! Buka pintunya, cepat!"
Miran menggeleng, memilih fokus dengan buku ini dan menggeser halamannya. Alih-alih membaca—ia malah terkejut karena isinya adalah sekumpulan kupu-kupu berwarna ungu yang berterbangan keluar dari dalam bukunya. Spontan Miran menjatuhkan buku itu ke lantai, berjalan mundur ketika cahaya ungu itu melebar keluar dari dalam kertas.
"Kwon Miran! Buka pintunya!"
Miran berbalik, berlari ingin menggapai kenop pintu ... namun tertahan karena tiba-tiba saja kakinya terangkat ke udara, menyisihkan 10 cm jarak di antara telapak kaki dan lantai. Kupu-kupu ungu beserta cahaya itu mengelilinginya. Bagaikan udara dingin, dersikkan badai dan juga petir yang menyambar, surai Miran bertebaran tak karuan. Miran ingin berteriak, meminta tolong dan kabur membuka pintunya—namun terlambat. Ketika pintu itu di dobrak paksa oleh Jimin, tubuhnya telah masuk ke dalam buku bersamaan dengan tumpukkan kertas yang bertumpuk hingga sang sampul mengakhirinya. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Once in a Blue Moon ★ PJM
Hayran KurguKwon Miran mengalami kejadian aneh serta langka saat melakukan tur di kota Athena pada saat usianya 17 tahun. Semuanya terjadi begitu saja tanpa terduga. Membuat kehidupan normalnya hilang dalam sekejap, dan akses sebagai manusianya berkurang. Menja...