17. I wanna go home

242 44 2
                                    

"Alys ... tatap aku, buka matamu."

Miran meneguk ludahnya samar, mereka baru saja meledak beberapa detik yang lalu. Dan sampai saat ini Miran masih takut untuk membuka matanya. Malu. Tanpa melihat Jimin pun wajahnya sudah memerah, bagaimana nanti kalau mereka bertatapan?

Miran malu di saat mengingat bagaimana ia memanggil Jimin dengan teriakan erotisnya di setiap sentuhan yang Jimin layangkan. Miran malu di saat ia mengingat bagaimana napasnya naik turun tak beraturan dengan gejolak aneh di dalam dirinya. Ia malu mengingat bagaimana mereka bertatapan satu sama lain di detik-detik terakhirnya sembari menempelkan kening masing-masing. Miran malu mengingat bagaimana penampilannya kala itu, semuanya berantakan.

Surainya pasti berantakan, yang paling tak bisa ia bayangkan adalah bagaimana labiumnya terbuka dan mengatup mengerangkan nama Jimin di setiap gerakannya.

Ingatannya kacau. Kabur. Ia kehilangan akal, semuanya dipenuhi gejolak aneh yang tak bisa ia sangkal. Yang hanya ia ingat adalah bagaimana Jimin memperlakukannya dengan sangat lembut namun mematikan. Serta bagaimana rasa jantungnya yang seakan copot dan punggungnya dicambuk karena ia lalai.

Ia tahu Athena marah, Athena membangunkannya lewat tusukkan tombak serta cambukkan keras. Tak heran kalau punggungnya sangat sakit walaupun tengah terbaring di atas ranjang selembut permadani, ia terkena triple kill. Namun itu semua percuma, Miran terbuai dengan permainan Jimin yang memabukkan. Miran terlena dengan segala-galanya dan kini hanya tersisa penyesalan.

"Kau tak ingin melihatku, hm?" Jimin menginterupsi lagi sebab tak ada respon dari sang lawan bicara. Jangankan suara, bahkan gelengan maupun gerakan kelopak mata yang mekar pun tak ada.

Miran ingin jadi patung saja.

Jimin masih di atasnya walaupun ia sudah melepaskan bagiannya, dan ia yakin Jimin tengah menatapnya. Ia benar-benar jadi patung sekarang—bahkan jemarinya yang mencengkram lengan polos Jimin, ikut terdiam. Napasnya tercekat, namun jantungnya berdisko ria di dalam sana.

Hingga akhirnya Miran merasakan sebuah gigitan yang menyapu kulit lehernya. Itu spontan membuat Miran berdesis sembari menjambak surai Jimin, maniknya spontan mengintip terbuka. Hingga akhirnya netra mereka bertemu. Dalam sekejap Miran menjadi patung kembali, kerongkongannya kering seketika. Namun dalam hitungan detik—ia memalingkan tatapannya dengan wajah yang memerah sebab Jimin tersenyum ke arahnya.

"Jangan menghindariku..." interupsinya sembari menangkup pipi Miran, mencegahnya lari lagi.

"A-a-apaan sih..."

Jimin tertawa kecil mendengarnya, melayangkan sebuah kecupan singkat.

"Jangan malu... kau sangat cantik tadi," godanya sembari mendekatkan wajahnya entah untuk apa, "Juga sangat seksi."

Ah iya, Miran lupa, Jimin ini sangat bisa membaca kata hatinya.

Bukannya merasa lega sebab keresahannya teratasi, Miran malah semakin malu. Karena ucapan Jimin serta tatapannya yang hanya tertuju pada mata Miran. Pipinya memanas, ia yakin seluruh wajahnya sudah memerah kalau begini caranya.

"Jimin ih! Berhenti menggodaku!..."

"Lalu aku harus menggoda siapa, Yseult?"

Mendengar Jimin menuturkan kalimat itu membuat suasana berubah seketika. Atmosfer di sekitar Miran berubah dalam sekejap, entah gejolak apa yang ia rasakan saat ini. Tiba-tiba saja bibirnya mengerucut dengan tatapan dingin sedingin es, setajam serigala.

"Ya sudah sana, menyingkir dari hadapanku." Miran spontan mendorong dada Jimin agar lelaki itu pindah dari atasnya dan pergi. Namun nyatanya responnya malah berbanding terbalik dari apa yang ia ucapkan.

Once in a Blue Moon ★ PJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang