26. Butterfly

207 43 2
                                    

Semenjak hari itu hubungan mereka terasa jauh lebih baik, semuanya terasa lega karena tak ada yang ditutup-tutupi lagi. Semuanya sudah jelas, namun keadaan mereka belum bisa dikatakan aman—sebab Ilaria belum musnah dari sini.

Dan lagi, semenjak ucapan Miran kala itu—Jimin tak melepaskan Miran sedetikpun dari jangkauannya. Walaupun Jimin tak mengetahui apa makna tersembunyi di balik ucapannya—tetapi Jimin sangat yakin itu bukanlah hal baik. Miran sendiri langsung menangis setelah mengucapkan itu, makanya Jimin memperketat semuanya. Menutup seluruh pintu balkon dan menguncinya dengan gembok mistis buatannya. Jendelanya pun begitu, walaupun tidak ditutup, tetapi ada lapisan lain yang Jimin buat agar Miran tak bisa pergi ke mana-mana. Dan pintu utama dijaga ketat oleh Yseult.

"Kumohon, jangan pergi ke mana pun... kita akan menyelesaikan semua ini, hm?"

Jimin mengecup punggung tangan Miran sekilas—cukup lama. Seperti menaruh kehangatan dan meminta kehangatan baru. Setelah itu dia beranjak dari ranjang dan berpijar pada lantai, menyelimuti tubuh Miran dengan sangat telaten dan hati-hati.

"Kau ingin ke mana?..." tanya Miran yang aneh karena Jimin tak langsung tidur di sampingnya. Biasanya walaupun belum memasuki waktu tidur—Jimin akan tetap menempel pada Miran, memeluknya, mendekapnya dan berbagi canda tawa.

Jimin tersenyum tipis sembari meloloskan kekehan, perlahan tangannya terulur untuk mengelus rambut Miran secara teratur, "Aku hanya akan ke ruangan kerja, aku butuh memikirkan rancangan untuk melenyapkan ingatan palsu yang Ilaria bagikan ke semua orang sehingga otak mereka terisikan fitnah tentangku, aku juga perlu memikirkan bagaimana cara melenyapkan Ilaria dan tidak ikut bereinkarnasi lagi nantinya. Itu mungkin akan mengganggumu karena aku akan berpikir dengan sangat keras, mungkin menimbulkan amarah dan emosi kalau aku frustasi. Aku mungkin akan memukul meja kalau aku frustasi, itu akan mengganggumu."

Miran mengangguk, semakin menenggelamkan tubuhnya pada selimut dan bergelung nyaman di bawah sana. "Aku ingin tidur duluan..." rengek Miran dengan mata sayupnya, lalu sedetik kemudian ia menguap lebar.

Jimin terkekeh, mengangguk, lalu dia duduk di sisi ranjang dan mengelus rambut Miran—menemaninya sampai matanya mulai sayup-sayup memejam, "Jimin, malam ini kita tidak boleh berpelukan dulu, okay? Jadi nanti ketika kita tertidur, kau tidak boleh tertidur sembari memelukku, okay?"

Itu seperti kutukan terbesar bagi Jimin, itu sudah merupakan kebiasaan, hobi dan kehangatannya setiap malam, sangat sulit disingkirkan. Namun menatap manik Miran yang sangat nanar dan menginginkan hal itu—pada akhirnya Jimin tak bisa menolak lagi, kemungkinan besar ini adalah permintaan bayinya. Bukankah permintaan ibu hamil terkadang beragam macamnya, bahkan sampai ada yang aneh seperti ini?

Jimin akhirnya keluar walaupun dikerubungi perasaan kelabu.

⌗ ✰

Ketika Jimin kembali ke kamar—semua rasa frustasinya luntur seketika, melihat Miran yang tertidur lelap sembari memunggunginya. Perlahan ia berjalan mendekati ranjang dan bergelung di balik rajutan selimut hangat yang ampuh digunakan ketika malam hari, ia hampir memeluk tubuh Miran—seperti yang kalian tahu, ini adalah kebiasaan Jimin, sangat sulit dihilangkan.

Mati-matian ia menahannya, beriringan dengan guntur yang menyambut serabutan di luar sana layaknya badai yang akan datang. Angin berhembus semakin kencang dan semakin membuat kilatan rasa dingin menyayat kulit siapapun tanpa mengenal nama. Jimin tak tahan lagi, ia sangat ingin merengkuh tubuh istrinya.

Layaknya Orpheus, Pandora, Psyche—Jimin sangat tak bisa menahan godaan yang datang menghampiri, serabut angin masuk dan menyapa kulitnya, seperti memberi pertanda kalau ia harus merengkuh tubuh istrinya dan melawan permintaan yang diminta Miran.

Once in a Blue Moon ★ PJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang