20. Where Are You?

167 44 1
                                    

cie dapet surprise 🤩

⌗ ✰

"Jimin ... kau ada di mana?"

Setelah pertengkaran mereka tempo hari lalu—Miran memilih menunggu Jimin. Mengabaikan hatinya yang sakit dan mendorongnya untuk pergi mengikuti perkataan Jimin yang menyakitkan. Miran sadar dia tidak boleh pergi seenaknya saja pasalnya ini adalah kehidupan orang lain. Ia butuh menyelesaikan masalah yang telah ia perbuat. Ia butuh bicara dengan Jimin dan menyelesaikan semua permasalahan ini dengan masalah kekeluargaan.

Namun ... Jimin belum kembali setelah pergi meninggalkan Miran sendirian dini hari itu. Sudah tiga malam Miran lalui tanpa adanya kehadiran Jimin. Entah ada di mana pria itu sekarang. Dan kalau malam ini dia tidak pulang—itu artinya akan menjadi malam ke-empat Miran tidur tanpa dirinya. Miran yakin Jimin mendengar suara hatinya, bagaimana relung hatinya meronta meneriaki kalimat rindu dan ratusan kata maaf.

Hampir setiap malamnya Miran tidur lebih lambat dari biasanya, ia biasanya berdiri di balkon sembari menatap bintang-bintang. Menanti kehadiran Jimin entah itu di dunia nyata ataupun dunia mimpinya. Namun Miran tak bisa menampik kalau Jimin sebenarnya datang ke kamarnya saat ia tertidur. Hanya untuk mengelus perut Miran dan mengelus surai Miran saja setelah itu pergi lagi entah ke mana. Miran tahu ini dari Yseult, Yseult mengatakannya keesokan harinya, makanya Miran mencoba terjaga sepanjang malam agar bisa menemui Jimin—namun tidak kuat. Rasa kantuknya lebih besar.

Kriet ...

Miran segera berselindung di balik selimutnya, memasang posisi dan raut orang tertidur pada umumnya. Ia yakin Yseult mengeceknya untuk memastikan dirinya baik-baik saja kendati Miran tidur lebih awal malam ini. Tentu saja, matahari baru terbenam empat puluh menit yang lalu—tetapi Ibu hamil ini sudah bergelung di bawah selimut untuk menutup matanya.

Setelah memastikan pintu tertutup lagi, Miran segera bangun dari ranjang dengan hati-hati. Merapihkan tempat tidurnya dan memasang guling sebagai pengganti dirinya. Langsung berlarian kecil membuka lemari, mengambil untaian beberapa seprai dan bajunya yang sudah ia ikat dengan kencang sehingga menjadi sebuah tali panjang yang besar. Melemparnya ke bawah melalui balkon untuk mengukur ketinggiannya sebelum menarik tali itu kembali dan mengikatnya pada sang tubuh. Lalu ujung yang satunya ia ikatkan di sisi pagar yang kokoh ini.

Tanpa babibu, Miran berlari dan melompat ke bawah. Beruntung pengukurannya berhasil, terdapat sisa 30 cm di bawahnya, sehingga tubuhnya tak menubruk tanah. Ia sengaja memilih opsi ini ketimbang mendaki perlahan untuk mencapai bawah, mungkin akan ada banyak waktu yang terbuang karena itu. Miran bukan ingin melarikan diri, ia hanya ingin mencari rumah mantan istri Jimin. Jujur, ia masih bingung harus percaya dengan siapa. Satu-satunya hal yang ia bisa lakukan hanyalah mencari kebenarannya.

Memastikannya sendiri.

⌗ ✰

Miran beruntung tak kehilangan arah walaupun ia berada di tengah kegelapan dunia. Hanya bermodalkan cahaya bintang dan pancaran sinar rembulan saja. Ah ya, sinar rembulannya sangat terang—sepertinya dewi Selene sedang bahagia di atas sana.

Miran tidak salah memakai setelan baju celana, walaupun sedikit kedinginan karena model off shoulder-nya. Beruntung jubah dan surainya mampu menghalau sedikit semilir anginnya. Ia juga membawa pedang arthur kesayangannya. Ia yakin Athena akan melindunginya entah apapun itu yang terjadi. Ia yakin bahwa Jimin sepertinya tahu apa yang ia lakukan sekarang—tapi entahlah, Miran tak begitu yakin.

"Huft ... rumahnya ada di mana sih?" Miran berbicara pada dirinya sendiri, setelah susah-susah melewati perangkap yang diberikan Jimin untuk pulaunya—lalu mendayuh sampan sendirian untuk bisa sampai ke pulau yang ditempati mantan istri Jimin, namanya Ilaria kalau tidak salah. Dan kini ia kesulitan karena tak menemukan desa di hutan ini. Hanya ada pepohonan besar yang selalu ia temui.

Once in a Blue Moon ★ PJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang