Semenjak kejadian itu aku memang benar-benar menjauh dari Jimin. Kita memang tinggal seatap, meminang status suami istri—mengingat aku masih menyamar sebagai Alys. Tetapi hati kami semakin menjauh—lebih tepatnya hatiku. Walaupun aku akui rasa cintaku masih sama dan belum pudar. Aku selalu menjauh dari Jimin apapun itu keadaannya, benar-benar membuat jarak di antara kami.
Aku selalu mengunci kamarku setiap aku ada di dalam sana, tak membiarkan Jimin maupun Yseult masuk tanpa seizinku. Dan aku lebih sering menyendiri di kamar, berbaring, menangis karena meratapi nasibku yang harus mengalami kisah tragis di dalam kehidupan orang, membayangkan bagaimana nanti kalau anak Alys lahir di tengah-tengah perdebatan kami? Haruskah aku mengurus anaknya juga? Bisakah aku menyayanginya layaknya anakku sendiri?
Begitu banyak pertanyaan di dalam benakku, terkadang aku menangis karena menyadari nasibku yang terlihat menyedihkan—lalu tertidur. Begitulah setiap hari. Rasanya tak ada hal spesial yang membuatku menunggu akan hari esok, seperti sudah tak memiliki harapan untuk bahagia lagi.
Oh ya, Jimin memang pantang menyerah rupanya, dia terus-terusan sabar menghadapi amarahku dan gencar mendekatiku walaupun berakhir dengan pengusiran dan kata-kata menusuk. Aku benar-benar tak mau jatuh lagi. Maka dari itu aku terus-terusan membuat celah untuk menghindar darinya, menjauh. Seperti saat ini.
"Ayo semestaku, buka mulutmu."
Jimin menyodorkanku sesuap nasi dengan lauknya—aku tak tahu namanya. Kami memang tetap makan di meja yang sama, namun aku selalu mempercepat tempo makanku, ingin menyelesaikan semua ini dengan cepat—kembali menjauhi Jimin lagi. Membuat jarak di antara kami agar semakin membesar. Aku tahu yang aku lakukan ini salah, namun aku hanya ingin menjaga diriku agar tak jatuh lagi ke dalam pelukan yang salah.
Aku mengabaikannya, aku baru duduk beberapa detik yang lalu dan ternyata dia sudah menyiapkan makananku di piring yang sama dengannya—bersiap-siap menyuapiku. Aku tahu ini taktiknya untuk membangun kedekatan kami, namun aku akan tetap menggagalkan rencananya.
"Yseult, tolong ambilkan aku piring kosong yang lain," ucapku pada Yseult yang sedang membereskan meja dapur. Untuk beberapa saat mereka terdiam, namun Yseult langsung mengangguk dan memberikanku piring berlapis emas yang kosong. "Terima kasih."
Aku tak melihat Jimin sama sekali, namun aku dapat melihat dari ekor mataku kalau rautnya menunjukkan kesedihan.
Tidak, aku tidak boleh lengah. Fokus pada tujuanmu, Kwon Miran.
Seperti biasa, aku selalu menghindari tatapannya baik dalam keadaan apapun itu—khususnya ketika makan. Aku lebih sering menunduk, menatap makananku dan melawan rasa mualku agar makanannya bisa habis. Karena kalau tidak, Jimin akan mengetuk pintu kamarku dan mengambil kesempatan untuk mendekatiku melalui embel-embel menghabiskan makannya.
Aku benar-benar menutup semua aksesnya untuk mendekatiku lagi.
"Aku selesai. Aku ke kamar dulu," ucapku setelah selesai meneguk air seperlunya dan berdiri lalu langsung meninggalkan mereka tanpa aba-aba—tanpa menunggu jawaban dari mereka.
Namun sialnya kali ini tanganku berhasil diraih oleh Jimin. Menarikku kembali ke belakang dengan sangat mudah hingga tubuhku masuk ke dalam dekapannya—kalian tahu, aku sangat lemas dalam beberapa waktu terakhir.
Aku tentunya memberontak dengan seluruh sisa tenagaku, namun nyatanya aku sangat lemas—bahkan untuk sekedar memukul dadanya saja sudah membutuhkan banyak tenaga untuk kukeluarkan.
"L-lepas! ... lepashh... hiks..."
bodoh, bodoh, memang Kwon Miran bodoh.
Namun aku tak bisa bohong kalau pelukannya mengantarkan rasa sakit pada hatiku. Kalau biasanya pelukannya hanya menghantarkan rasa nyaman, kehangatan, kedamaian, ketenangan—kini tersempil rasa sakit yang menyengat. Potongan memori menyakitkan yang tersimpan, menyatu kembali membuat puzzle yang utuh. Membuatku mengingat segala kesalahan yang terus dilakukan oleh Jimin.
![](https://img.wattpad.com/cover/256445294-288-k242197.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Once in a Blue Moon ★ PJM
FanfictionKwon Miran mengalami kejadian aneh serta langka saat melakukan tur di kota Athena pada saat usianya 17 tahun. Semuanya terjadi begitu saja tanpa terduga. Membuat kehidupan normalnya hilang dalam sekejap, dan akses sebagai manusianya berkurang. Menja...