Bentar-bentar, lagi letoi nih😓 Nggak ada yang pengen ngajak ngobrol gitu? Biar diriku ini berasa enakan🙃
***
Celaka! Kemana para pengawal dan pelayan? Bagaimana mereka bisa menerobos tanpa seizin dari sang tuan rumah.
"Lepaskan dia!"
Chalis merapatkan rengkuhannya. "Tidak akan."
Seorang berseragam sipil dengan lencana tameng menodong maju. "Lepaskan dia, jangan sampai pistol ini menyerang Anda, Tuan!"
Chalis tergeli, ia menantang dengan memamerkan leher.
Dalam hening mencekam, terdengar bersahutan detak jantung yang tak karuan dari dua sosok target perhatian, Chalis dan Cia.
Cia takut! Kenapa takut? Semestinya ia senang, bukankah ini angan yang lama ia kelak-kelakkan dan menjadi pengabulan. Cia membenamkan muka di dada bidang.
Segala peringatan yang diberikan tak mempan juga tak dimaknai oleh Chalis. Hingga seorang berseragam sipil dengan lencana tameng muak. Ia mencerling pada rekannya yang endap-endap ambil penjagaan di belakang Chalis.
Bukk..!
Tak sempat menengok. "Sss.... Ah..." Chalis ditimpa begukan berat pada tengkuknya. Ia pusing, pandangannya buram.
Seorang berseragam sipil dengan lencana tameng menjambret awak molek dari tubuh tinggi tegap yang melemah. "Ayo, Nak kamu bisa pergi dari sini!"
Kornea perak tergolak, bibir mungilnya tiba-tiba gagap bahasa. Kaki Cia enggan menjauh dari situ.
"Cia!"
Sontak, panggilan yang seru melerai kebimbangan gadis tersebut. "Ayah!" Cia menghambur ke laki-laki itu.
"Ci, Cia..." Sergah Chalis sembari menahan lara dengan borgol yang menyegel pergelangannya.
"Bagaimana keadaanmu, Nak?" Dalam pelukannya laki-laki berumur mengusap puncak kepala sang anak.
"Cia baik, Ayah."
Tak sengaja mata perak dan mata hitam saling bersitatap. Cia terenyuh akan manik Chalis yang memelas tak berdaya seakan meminta bantuan.
"Cia..." rintih Chalis.
Cia mencuaikan, ia memendam mimik simpatinya di dada perlindungan sang ayah.
Sekawanan orang berseragam sipil dengan lencana tameng menderek Chalis keluar dari tempat.
"Tidak, biarkan aku berbicara dengan Cia-ku!" Protes Chalis. "Cia!"
Cia terkinjat. Ia memejamkan netra membantah segala sorakan-sorakan yang bercabang di akal warasnya.
Pertunjukkan penangkapan usai. Dengan kumisnya yang garang agen artsy masuk. "Milikmu, Nona cantik!" Mengembalikan karet rambut.
Cia sumringah. "Terima kasih." Dulu semasa kecil bunda selalu menguncir rambut coklat terurainya menggunakan karet rambut peninggalan mendiang.
Cia memang bukan berasal dari keluarga berada yang memiliki aset mewah. Sekedar karet sederhana berjuta sejarah tersebut ia abadikan. Ia menganggap dengan mengenakannya selalu ia seakan merasakan kehadiran bunda tercinta.
Agen berkumis artsy merabai kolong ranjang raksasa. Ia memuji lensa lalat yang ada dalam jumputannya. Tersimpul, "U-G-N-G-C-K. Selesai."
***
Di pondok minimalis berdesain sederhana. Sebatas bara surya memampang, menjadi daya semu dimana ajang ketegangan itu berlanjut.
"Apa kalian tidak lihat dia hamil!" Menekan pelipis, menyusutkan sengkakan. "Sekarang mudah, impasi semua yang pernah kusukarelakan. Dan anggapannya tuntas. Oh iya, kuberi keringanan, untuk yang terakhir ini tanpa pamrih."
Sontak pernyataan sambungan tersebut memancing gadis yang tabah tertunduk.
***
Eits... Jangan kemana-mana dulu, belum abis ceritanya!😁😁
Ingat vote dan komen! Karena semangat author adalah dukungan dari kalian.
#Salam untuk para readerku🌹🧡🧡
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESI SANG PENCULIK [End]
RomanceAda berlian yang diculik. Berlian itu ada di mata perak seorang gadis sederhana bernama Cia Banara. Menjadi korban akibat kelicikan tuan sekaligus calon pengantinnya membuat Cia hidup bersama seorang penculik sekaligus pria kaya raya yang memperlaku...