24. Chapter [X]

1.4K 74 8
                                    

Baby, ahh...
Baby, ahh...
Baby, ahh...

I'm already someone else's

Cut-cut!
Jadi kebablasan nyanyi. Habis enak yang lagi viral😁😁

Ya ampun, Dj bagus-bagus ternodai gara-gara suara berdosaku yang dibawah standar ini🤧

Abaikan, let's read aja ceritanya:)

***

Menempuh lapisan tanah serta batuan tanpa tujuan yang jelas dan pasti. Melampaui liarnya suhu panas dingin. Lukisan sepia pada kanvas atmosfer luntur dicoraki pekat.

Di teras sebuah balai yang digembok, keempat badan lunglai berehat. Memeras kulit yang berkeringat lengket akibat kampanye mereka seharian.

Berkali wanita berkerabat ibu tiri menyeka dahi anak laki-lakinya.

Prihatin, Cia mengelus tubuh meriang anak lugu itu.

Ibu tiri menampik tangan melepuh, dengan tatapan seolah menyalahkan Cia kalau anaknya letih sampai demam begini adalah ulah dari anak tirinya.

"Guk, guk."

Beruntun ibu tiri melorok ke Cia dan Nde-nden. "Ini juga pasti gara-gara anak saya suka dekat dengan anjing berkumanmu. Syuhh... sana bawa pergi!" Menggertak.

"Sudah-sudah, Bu!" Sela laki-laki berumur menengahi.

Cia memboyong awak moleknya bersama Nde-nden menepi dari kerumunan tiga orang yang ia sayangi.

Memang ayahnya selalu bijak nan adil dalam menyikapi Cia dan ibu tirinya. Namun dulu, sekarang semenjak peristiwa memalukan kemarin ayahnya jadi seperti mengucilkan.

Apa lantaran Cia anak tertua tapi tidak bisa mengangkat justru tambah merendahkan derajat keluarganya? Ini semua juga diluar kemauan Cia.

Menarik napas panjang, Cia melendeh membubungkan dada, ia memejamkan netra. Menelan saliva menanggung batin beserta fisik yang begitu lelah. Ingin sekali ia menangis, tapi rasanya mengering tandus air mata ini. "Apabila ada yang mengusik Cia-ku, mengadulah!" Cia tergugah.

Chalis benar, mengadu mungkin membuat Cia merasa lebih baik. Tapi bagaimana caranya? Orang tuanya saja benar-benar melarang untuk bertemu.

Telapak tangan Cia bermanja di bulu-bulu halus Nde-nden yang sedang ia pangku. Kornea perak terkunci pada perut setengah buncit.

Cia merogoh tas, jari-jarinya dengan luwes menulis di secarik kertas putih. Ganti ia mencopot kalung emas beranting kristal hati yang menghiasi leher mulusnya.

***

Tersingkir dari keramaian, menyumbat birunya langit juga hijaunya bumi. Dalam cagak usang yang berjejer tempat menebus kebusukan para pendosa Chalis terbui.

Chalis membisu, tak buyar-buyar ia tersanjung akan pesona dari potret gadis bermata perak dengan alis sabit, rambut coklat, kulit putih melepuh, dan bibir mungil delima.

"Guk, guk."

Mendengar suara yang ganjil di telinga, Chalis menurunkan potret mulia yang ia pandangi syahdu. "Nde-nden! Bagaimana kau bisa ke sini?"

Anak anjing tersebut menyepak-nyepak leher, rontoklah bulu-bulu resiknya.

Chalis memungut secarik kertas yang terhempas dari kalung emas beranting kristal hati, kemudian membacanya. "Dari: Cia-mu." Tutupnya. Chalis meresapi inti surat itu, bola mata hitamnya meruncing. "Br*ngs*k!" Geramnya meremas ludes secarik kertas.

Sampai Nde-nden dibuat mengkerut olehnya.

Chalis berdiri. "Pak Polisi!" Berteriak memanggil.

***

Sebuah Crossover car berhenti di halaman balai yang digembok.

Cia dan ketiga keluarganya tak alih menjelingi.

Kaca di bagian pengemudi melorot.

Nampaknya, Cia pernah melihat orang tersebut! Ia mengira-ira.

***

Come on pencet tombol vote dan komen! Karena semangat author adalah dukungan dari kalian.

#Salam untuk para readerku🌹🧡🧡

OBSESI SANG PENCULIK [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang